Senin, 31 Desember 2012

Tafsir Surat Al-Fatihah


Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda : "Demi (Allah) yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah Allah menurunkan satu suratpun yang semisal dengan Surat Al-Fatihah, baik itu di Taurat, Injil maupun di Al-Qur'an". 
Surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan termasuk surah Makkiyah, menurut pendapat Abdullah bin Abbas, Qatadah, dan Abul Aliyah. 
Dinamakan Al-Fatihah yang berarti 'Pembuka', karena surat ini merupakan pembuka (permulaan) dari Al-Qur'an secara tulisan. 
Dinamakan juga dengan Ummul Qur'an (induk Al-Qur'an), karena seluruh Al-Qur'an berkisar pada pokok-pokok yang dikandungnya. 
Dinamakan juga dengan Ash-Shalah, karena ia merupakan rukun shalat. Shalat tidak sah tanpanya. Dinamakan dengan Asy-Syifaa', yang berarti obat, karena Al-Fatihah bisa dijadikan obat untuk dua jenis penyakit, dhahir maupun batin, dan masih ada lagi beberapa nama lainnya untuk surat Al-Fatihah ini.
TAFSIR AYAT
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaa'iry, dalam Aisaru At-Tafaasir-nya menjelaskan makna ayat-ayat dari surat yang mulia ini. Beliau menulis, Allah SWT memberitahukan bahwa segala macam pujian, baik itu berupa sifat keagungan atau kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Sebab, Dia-lah Rabb dari segala sesuatu, Pencipta dan Pemiliknya. Kewajiban kita adalah memujiNya. 
Kemudian Allah SWT mengagungkan diriNya sendiri, bahwa Dia-lah yang menguasai segala yang ada di hari kiamat. Pada hari itu, tidak seorang pun berkuasa atas orang lain. Dia (Allah SWT)-lah satu-satunya pemilik dan Penguasa. 
Selanjutnya Allah SWT mengajarkan kepada kita, suatu cara agar permintaan dan doa kita diterima/dikabulkan. Dengan kata lain, Allah SWT berfirman : "Pujilah Allah dan agungkanlah Ia, serta konsistenlah dengan hanya beribadah dan meminta pertolongan kepadaNya, bukan kepada yang lain.
Lalu dengan pengajaran dari Allah SWT, seorang hamba akan meminta kepada Allah SWT untuk dirinya dan saudara-saudaranya, agar hidayah yang Allah SWT berikan kepada mereka dilanggengkan, sehingga tidak terputus. Akhirnya, setelah mereka meminta ditunjukkan kepada 'jalan yang lurus', Allah SWT menjelaskan, yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberi nikmat, yang itu merupakan manhaj (konsep) yang lurus, yang akan mengantarkan seorang hamba kepada keridhaan Allah SWT dan jannahNya. Jalan itu adalah Islam, yang tegak berdiri di atas pondasi iman, ilmu dan amal, disertai dengan menjauhi kemusyrikan dan kemaksiatan. Jalan itu bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai oleh Allah SWT dan bukan pula jalan mereka yang sesat. 
Ibnu Katsir r.a. menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang disebut oleh Allah SWT dalam surat An-Nisaa' ayat 69. Mereka adalah para nabi, shiddiqiin, syuhada dan shalihiin. 
Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang mendapatkan murka adalah orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai, karena mereka tahu akan kebenaran, tetapi mereka berpaling darinya. 
Adapun orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Mereka bodoh dan beribadah menurut kemauan mereka sendiri, tanpa ilmu. Sebenarnya, baik Yahudi maupun Nasrani, semuanya sama-sama mendapat murka dan tersesat. Hanya saja, sifat khusus 'mendapatkan murka' diperuntukkan bagi Yahudi, karena mereka tidak mau beramal, dan sifat khusus 'tersesat' disandangkan kepada orang-orang Nasrani, karena tidak mau berilmu. Maka kalau kita tidak mau berilmu atau beramal, berarti sejenis dengan Nasrani atau Yahudi. Na'udzu billah.... 
KANDUNGAN AYAT
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah r.a. menyatakan bahwa surat Al-Fatihah ini memuat pokok-pokok dienul Islam secara global tapi sempurna. Ada tiga hal pokok, yatiu:
1. Tauhid
Melalui surat ini, Allah SWT 'mengenalkan diri' kepada makhluk-makhlukNya dengan lima nama, yaitu Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, dan Al-Malik. 

Allah
Nama 'Allah' adalah nama yang mewakili seluruh Al-Asmaa' Al-Husna (nama-nama baik yang berjumlah 99, yang Allah SWT sifatkan kepada diriNya sendiri) dan Ash-Shifat Al-Ulya (sifat yang tinggi/mulya). Nama ini menunjukkan IlahiyahNya. Sifat Ilahiyah adalah sifat kesempurnaan yang jauh dari tasybih (penyerupaan), tamtsil (permisalan), kekurangan dan cacat. Seluruh asmaa' al-husna adalah perincian dari sifat ini. Nama 'Allah' menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Al-Ma'luuh, yang diibadahi. Semua beribadah kepadaNya dengan penuh ketundukan dan kecintaan dan pengagungan. 

Ar-Rabb
Ar-Rabb artinya penguasa, yang mengatur segalanya. Secara khusus, semua sifat fi'il (perbuatan) dan qudrah (kekuasaan) dan segala yang berkenaan dengan kepengaturan alam berhubungan eerat dengan nama Ar-Rabb. Allah SWT adalah Rabb segala sesuatu. Penciptanya dan yang Maha Mampu untuk melakukan apa saja. Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari rububiyyah-Nya. 

Ar-Rahmaan
Nama 'Ar-Rahmaan' adalah pecahan kata 'rahmah', untuk menunjukkan intensitas yang sangat. Selanjutnya, nama Ar-Rahmaan menunjukkan bahwa segala sifat ihan, kasih, sayang, lembut, derma, pemurah dan baik, ada pada Allah SWT. Sifat rahmaan Allah SWT yang dikandung oleh nama Ar-Rahmaan ini berlaku untuk semua makhluk, yang beriman maupun yang kafir. Rahmah di sini meliputi segala hal yang berkenaan dengan penghidupan/kelangsungan hidup. 

Ar-Rahiim
Seperti halnya 'Ar-Rahmaan', Ar-Rahiim adalah pecahan kata 'rahmah'. Bedanya, sifat rahmah Allah SWT yang terkandung dalam nama ini dikhususkan untuk mereka yang berima saja, di akherat.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ahzaab : 43 yang artinya : "Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman." 

Al-Malik
Al-Malik artinya raja atau penguasa. Penguasa atas segalanya. Dikhususkannya hari pembalasan sebagai milik atau kekuasaan Allah SWT dalam surat ini, bukanlah berarti dunia tidak termasuk milik/kekuasaan Allah SWT. Sebenarnya Allah SWT yang menguasai hari dunia dan hari pembalasan. Adapun pengkhususan di sini, karena pada hari pembalasan nanti, tidak ada seorang pun yang akan mengaku-aku/mendakwakan diri sebagai pemilik/penguasanya. Juga, pada hari itu tidak ada seorang pun yang berbicara, kecuali telah mendapat ijin dariNya. 

Seorang yang membaca dan memahami makna surat ini, mau tidak mau dia telah mengitsbatkan (menetapkan) tiga jenis tauhid, rububiyah, uluhiyah, dan asma' wa ash-shifat. Ketika ia membaca : "Al-Hamdu lillahi rabbil aalamiin", berarti ia telah memuji Allah SWT. Pujian yang mencakup keagungan dan ketinggian sifat-sifat Allah SWT. Pujian yang berkenaan dengan asma' wa ash-shifat tanpa ta'wil, tamtsil dan takyif (menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi). Pun surat ini memuat bebarapa asma yang semuanya menunjukkan sifat seperti tersebut di atas. 

Lalu seseorang yang memuji, pastilah seseorang yang mencintai dan ridha. Orang yang membaca 'alhamdu lillah rabbil aalamiin' secara tidak langsung menyatakan cinta dan keridhaannya kepada Allah SWT. Cinta adalah asas dibangunnya tauhid uluhiyyah. Juga ayat 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin'. Seseorang yang membacanya sama saja telah berikrar, selalu akan berkonsisten dalam beribadah kepadaNya dan akan minta pertolongan hanya kepadaNya. Yang tersisa tinggallah perbuatan, yang akan membuktikan benar atau tidak pengakuan/ucapannya tersebut. Adapun tauhid rububiyah, seseorang yang mengingkarinya tidak akan membaca surat ini, kecuali hanya sebatas batang lehernya saja. 

2. Tentang hari akhir
Ayat 'Maaliki yaumiddin' menunjukkan bahwa setelah berakhhirnya kehidupan di dunia ini, akan ada pembalasan. Di sana, hanya Allah-lah yang berkuasa dan akan menghakimi seluruh manusia dengan keputusan yang paling adil. Keputusan berkenaan dengan pembalasan atas segala amal yang telah diperbuat oleh manusia. Amal yang baik akan diabalas dengan kebaikan dan perbuatan dosa akan dibalas dengan siksaan, kecuali bagi yang mendapatkan maghfirah (ampunan) dariNya. 

3. Tentang kenabian
Surat Al-Fatihah ini mengitsbatkan kenabian dari berbagai arah, diantaranya: 

· Eksistensi Allah SWT sebagai Rabbul aalamiin. Maka, tidaklah pantas bagi Allah SWT untuk membiarkan begitu saja hamba-hambaNya, tanpa memberitahu hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akherat. Jika Allah SWT membiarkan mereka tanpa mengutus nabi, tentulah sifat rububiyyah tidak ada padaNya. 

· Allah SWT adalah Al-Ma'luuh (yang diibadahi). Hamba-hambaNya tidak akan pernah tahu bagaimana cara beribadah kepadaNya, kecuali melalui para rasulNya. 

· Disebutkannya keberadaan hari pembalasan atas amal. Tentunya Allah SWT tidak akan mengadzab seseorang pun jika belum menyampaikan hujjah melalui lisan para rasulNya. 

· Terklasifikasikannya hamba-hambaNya menjadi orang-orang yang diberi nikmat dan orang-orang yang sesat. Klasifikasi ini sangatlah berkaitan dengan tersampaikannya kebenaran. Sebagian hambaNya mau mendengar dan mengamalkannya, sebagian yang lain mendengar tetapi tidak mau mengamalkannya, dan sebagian lagi beramal semaunya, tanpa mau mendengar kebenaran. Yang pasti, kebenaran telah disampaikan oleh para rasul Allah SWT.
MEMBACA AMIN
Disunnahkan bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah --di dalam maupun di luar shalat--, untuk membaca 'amiin', apabila telah menyelesaikannya. Kata 'amiin' berarti 'Ya Allah, kabulkanlah.

readmore »»  

Minggu, 30 Desember 2012

Sebab sebab dekatnya rahmat Allah ‘Azza wa jalla.


Banyak sebab yang menyebabkan datangnya rahmat Allah Ta’ala, baik sebab yang bersifat umum maupun sebab husus, adapun sebab datangnya rahmat Allah secara umum adalah setiap perbuatan kebaikan, berupa mentauhidkan Allah dan menjauhi kesyirikan, mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah, melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Adapun sebab sebab datangnya rahmat Allah secara husus adalah sebagai berikut :
Mempunyai rasa kasih sayang kepada makhluk.
عن جرير بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا يرحم الله من لا يرحم الناس
Dari Jarir bin ‘Abdillah ia berkata, Rosulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda :” Allah tidak merahmati orang yang tidak merahmati (menyayangi) manusia “. (HR Bukhari dan Muslim).
Masuk juga menyayangi hewan sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dalam al adabul mufrad :
الشاة إن رحمتها رحمك الله
“ Kambing jika engkau rahmati ia, niscaya Allah akan merahmatimu “.
Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
من رحم ولو ذبيحة عصفور رحمه الله يوم القيامة
“ Barangsiapa yang menyayangi walaupun sembelihan burung, Allah akan merahmatinya pada hari kiamat “.
Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك وتعالى ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء
“ Orang orang yang mempunyai rahmat (kasih sayang) itu dirahmati oleh Ar Rahman yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi, sayangilah yang di bumi niscaya akan disayangi oleh yang di langit “. (HR Ahmad, Abu dawud, At Tirmidzi dan Al Hakim).
Mentaati Allah dan rosulNya sebagaimana firman Allah Ta’ala :
و أطيعوا الله والرسول لعلكم ترحمون
“Dan Ta’atilah Allah dan RosulNya agar kalian dirahmati “. (Ali Imran 3:132).
Memperhatikan al qur’an, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون
“Dan apabila dibacakan al qur’an maka dengarkan dan diamlah agar kalian dirahmati “. (Al A’raaf 7:204).
Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata :” ini adalah perintah yang umum bagi setiap orang yang mendengar kitabullah yang sedangkan dibacakan, ia diperintahkan untuk istima’ dan inshat, dan berbeda antara istima’ dan inshat ; inshat artinya tidak berbicara dan tidak disibukkan dari mendengarnya, sedangkan istima’ artinya memperhatikan dengan pendengarannya, dengan hati yang hadir sambil mentadabburi apa yang ia dengar.
Barangsiapa yang senantiasa melakukan dua perkara tadi ketika Al Qur’an dibacakan, maka ia akan meraih banyak kebaikan, ilmu yang luas, iman yang langgeng dan selalu diperbaharui, hidayah yang selalu bertambah, dan bashirah dalam agamanya.
Oleh karena itulah Allah memberikan rahmat kepadanya, dan ini menunjukkan bahwa orang yang tidak memperhatikan dan tidak diam ketika Al Qur’an dilantunkan akan terhalang dari rahmat dan terluput darinya kebaikan yang banyak “.
Memohon ampun kepada Allah, sebagaimana firmanNya :
لولا تستغفرون الله لعلكم ترحمون
“ Mengapa kamu tidak memohon ampunan kepada Allah, agar kamu dirahmati “. (An Naml 27:46).
Bersabar dalam menghadapi cobaan, sebagaimana firman Allah setelah menyebutkan orang orang yang bersabar :
أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون
“ Mereka itulah orang orang yang mendapat pujian dan rahmat dari Rabbnya dan mereka itulah orang orang yang mendapatkan petunjuk “. (Al Baqarah 2:157).
Shalat empat raka’at sebelum ashar, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رحم الله امرءا صلى قبل العصر أربعا
“ Semoga Allah merahmati orang yang shalat sebelum ‘ashar empat raka’at “. (HR Abu dawud, At Tirmidzi dan Ibnu hibban dari ibnu Umar radliyallahu ‘ahumu).
Suami istri yang shalat malam. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رحم الله رجلا قام من الليل فصلى وأيقظ امرأته فصلت فإن أبت نضح في وجهها الماء . رحم الله امرأة قامت من اليل فصلت وأيقظت فصلى فإن أبى نضحت في وجهه الماء
“ Semoga Allah merahmati seorang laki laki yang bangun malam lalu ia shalat dan membangunkan istrinya untuk shalat, bila enggan ia cipratkan air kewajahnya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam lalu ia shalat dan membangunkan suaminya untuk shalat, bila enggan ia cipratkan air kewajahnya “. (HR Ahmad, Abu Dawud, An nasai, Ibnu Hibban dan Al Hakim dari Abu hurairah radliyallahu ‘anhu).
Mudah dalam bermua’amalah. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رحم الله رجلا سمحا إذا باع وإذا اشترى وإذا اقتضى
“ Semoga Allah merahmati seseorang yang mudah dalam menjual, mudah dalam membeli, dan mudah dalam menagih hutang “. (HR Bukhari dari Jabir bin Abdullah).
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :” Dalam hadits ini menunjukkan anjuran untuk bersifat samahah (mudah) dalam bermu’amalah, menggunakan akhlak yang mulia, dan menjauhi sikap mempersulit, juga menunjukkan anjuran untuk tidak mempersempit manusia dalam meminta hak kita kepada mereka dan memaafkannya “.
Berbicara kebaikan dan diam dari berbicara keburukan.
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : رحم الله امرءا تكلم فغنم أو سكت فسلم .
Dari Anas bin Malik ia berkata, Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Semoga Allah merahmati seseorang yang berkata (baik) maka ia mendapat pahala, atau diam maka ia selamat “. (HR Al Qudla’I dalam musnad Asy Syihab).
Mencukur rambut ketika tahallul.
عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اللهم ارحم المحلقين, قالوا والمقصرين يا رسول الله قال : اللهم ارحم المحلقين, قالوا والمقصرين يا رسول الله قال اللهم ارحم المحلقين قالوا والمقصرين يا رسول الله قال والمقصرين.
Dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Ya Allah rahmatilah orang yang mencukur kepalanya “. Mereka berkata :” Dan orang yang memendekkan juga wahai Rosulullah ! beliau bersabda :” Ya Allah rahmatilah orang yang mencukur rambutnya “. Mereka berkata :” Dan orang yang memendekkan juga wahai rosulullah ! beliau bersabda :” Ya Allah, rahmatilah orang yang mencukur rambutnya “. Mereka berkata :” Dan yang memendekkan juga wahai Rosulullah ! beliau bersabda :” dan yang memendekkannya juga “. (HR Bukhari dan Muslim).
Duduk di majlis ilmu. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده ..
“ Dan tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah, mereka membaca al qur’an, dan mempelajarinya diantara mereka, kecuali akan turun kepada mereka as sakinah, dilingkupi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah sebutkan mereka di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya “. (HR Muslim).
Sebab sebab jauh dari rahmat Allah.
Jauhnya seorang hamba dari rahmat Allah adalah sebuah kesengsaraan yang abadi, karena tujuan kehidupan hamba adalah surga-Nya yang paling tinggi, dan ia adalah rahmat Allah yang sangat agung, oleh karena itu seorang hamba senantiasa memohon rahmat dan kasih sayangNya, dan menghindar dari segala sebab yang menjauhkannya dari rahmat-Nya, diantaranya adalah :
Pertama : Kebalikan dari sepuluh perkara diatas, yaitu tidak menyayangi makhluk, tidak mau menta’ati Allah dan RosulNya, tidak mau beristighfar dan seterusnya.
Kedua : Seluruh perbuatan yang dilaknat oleh Allah, karena hakikat laknat adalah dijauhkannya hamba dari rahmat dan tempat tempatnya.
Diantara perbuatan perbuatan yang dilaknat oleh Allah Ta’ala adalah sebagai berikut :
Memakan riba dan membantunya. Nabi salallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله آكل الربا وموكله و كاتبه وشاهديه , وقال : هم سـواء.
“ Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya “. Beliau bersabda :” Mereka semua sama “. (HR Muslim).
Meminum arak dan membantunya. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله الخمر وشاربها وساقيها وبائعها ومبتاعها وعاصرها ومعتصرها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها.
“Allah melaknat arak, peminumnya, pemberi minumnya, penjualnya, pembelinya, yang memerasnya, yang meminta diperaskan, yang membawanya, yang dibawakan kepadanya, dan yang memakan harganya “. (HR Abu Dawud dan lainnya).
Suap menyuap. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم
“ Allah melaknat orang yang menyuap dan yang minta suap dalam hukum “. (HR Ahmad).
Meratapi mayat. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله الخامشة وجهها والشاقة جيبها والداعية بالويل والثبور.
“ Allah melaknat wanita yang mencakar wajahnya, menyobek kantongnya, dan wanita yang berteriak dengan mengatakan kecelakaan “. (HR ibnu Majah).
Mencuri. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله السارق يسرق البيضة فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده.
“ Allah melaknat pencuri, ia mencuri sebutir telur lalu tangannya dipotong, mencuri seutas tali lalu tangannya dipotong “. (HR Bukhari dan Muslim).
Menyerupai lawan jenis. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله المتشبهات من النساء بالرجال والمتشبهين من الرجال من النساء.
“ Allah melaknat wanita yang menyerupai laki laki, dan laki laki yang menyerupai wanita “. (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, ibnu Majah dan lainnya).
Menjadikan kuburan sebagai masjid. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد.
“ Allah melaknat Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kuburan Nabi Nabi mereka sebagai masjid “. (HR Bukhari dan Muslim).
Melaknat orang tua.
Menyembelih untuk selain Allah Ta’ala.
Melindungi orang yang berbuat kejahatan / bid’ah.
Merubah batasan tanah. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله من لعن والديه ولعن الله من ذبح لغير الله ولعن الله من آوى محدثا ولعن الله من غير منار الأرض.
“ Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan / bid’ah. (HR Muslim).
Wanita yang sering berziarah kubur. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لعن الله زوارات القبور.
“ Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur “. (HR Ahmad, At Tirmidzi dan lainnya).
Mencaci shahabat. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من سب أصحابي فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين.
“ Barang siapa yang mencaci shahabatku, maka baginya laknat Allah, malaikat dan manusia semuanya “. (HR Thabrani dari ibnu ‘Abbas).
Menyembunyikan ilmu. Allah Ta’ala berfirman :
إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم الاعنون
“ Sesungguhnya orang orang yang menyembunyikan apa yang kami turunkan berupa keterangan keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh semua makhluk yang dpat melaknat “. (Al Baqarah 2:159).
Orang yang mentato, mencukur bulu alis, mengukir gigi, dan menyambung rambutnya.
لعن الله الواشمات والمستوشمات والنامصات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله.
“ Allah melaknat wanita yang bertato dan yang minta ditato, wanita yang mencukur bulu alisnya dan yang minta dicukur, wanita yang mengukir giginya yang merubah rubah ciptaan Allah “. (HR Bukhari dan Muslim).
لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة.

“ Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung, wanita yang bertato dan yang minta ditato “. (HR Bukhari dan Muslim).
readmore »»  

Taubat dan Istiqomah

Pada suatu hari sahabat Nabi bernama Sufyan bin Abdullah yang bergelar Abu Amrah bertanya kepada Nabi; dia minta fatwa, apa sesungguhnya intisasri ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah. Sesudah itu aku tidak bertanya lagi, ujar Sufyan bin Abdullah. Nabi menjawab: "Katakanlah aku percaya kepada Allah, kemudian pegang teguh pendirian itu...". Jawaban itu amat singkat dan sederhana kedengarannya. Anak kecil sekalipun bisa menghafalkannya dalam satu tarikan nafas; amantubillahi tsummastaqim. Akan tetapi iman kepada Allah, bukanlah untuk dihafal atau dianjurkan kepada orang lain. Dia menjadi sikap dan pendirian yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itulah yang dikatakan istiqomah. "Istiqomah menurut difinisinya adalah pendirian yang teguh".

Meskipun seorang khatib berbicara di mimbar tentang keimanan setiap hari jum'at atau seorang ulama yang memiliki segudang ilmu tentang agama, setiap saat mengeluarkan fatwa halal dan haram, belum tentu istiqomah iman dan taqwanya. Orang istiqomah adalah orang yang satu antara kata dan perbuatannya, berani menempuh resiko demi imannya kepada Allah.

Beberapa kali kita mendengar keluhan tentang makin kurangnya ulama di Indonesia. Akan tetapi beberapa kali pula kita menyaksikan pada siaran warta bertita televisi, koran, bahwa upacara-upacara resmi mulai dari tingkat pusat, propinsi atau kabupaten yang dihadiri oleh puluhan bahkan ratusan ulama memakai jubah dan serban. Maka yang dimaksud langka itu ialah ulama yang istiqomah. Bukan yang diokerahkan dalam suatu upacara di lapangan, atau tukang bikin fatwa halal dan haram.

Seorang muttaqin adalah orang yang bebas dari rupa-rupa pengaruh duniawi dan materi serta vested intterest. Dia takut hanya kepada Allah dan selalu dekat kepada-Nya. Karena sikap istiqomah itu, seruannya didengar dan ditaati. Istiqomah membuat orang berwibawa dan disegani, kendati dia bukan seorang pemimpin formal ataupun seorang ulama besar.

Pada waktu akhir-akhir ini, sehubungan dengan kesulitan ekonomi dan usainya pesta demokrasi memilih calon-calon legislatif, seruan-seruan taqwa itu tidak hanya dilakukan oleh para khatib dari mimbar masjid ataupun pada waktu peringatan hari besar agama belaka. Tapi dalam forum resmi yang tak bersifat keagamaan para pemimpin dan pejabat menggunakan kesempatan mengingatkan rakyat, agar taqwa kepada Allah, hidup sederhana, solidaritas sosial, menjauhkan sikap mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang lain.

Namun kita masih saja menyaksikan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan anjuran. Artinya masih adanya kesenjangan antara anjuran dan praktek itu. Lihat saja mislanya, banyak para caleg yang tidak yang tidak siap kalah pada pemilu lalu, sehingga banyak diantara mereka yang depresi, stress dan masuk rumah sakit jiwa, bahkan yang paling mengeriokan sampai bunuh diri karena kalah. Tentu saja ini semua terjadi karena kelemahan kita sebagai manusia. Kita yang lemah tidak bisa memagar diri dari arus kehidupan materialisme. Tak tahan godaan nafsu, mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Pemimpin atau ulama adalah manusia yang mempunyai kelemahan yang sama. Disinilah kita melihat hubungan istiqomah dengan taubat.

Rasulullah dalam sebuah hadisnya yang terkenal mengatakan: "Setiap kamu adalah pemimpin, yang bertanggungjawab atas rakyat yang dipimpinnya...."

Maka dari hadis itu jelas, yaitu kita-kita ini adalah pemimpin, pemimpin rumah tangga, di kantor, di perusahaan, sampai pada pemimpin negara. Tanggung jawab seorang pemimpin selain kepada rakyat yang dipimpin, yang lebih lagi kepada Allah. Kita bisa memaksakan kehendak atau melakukan tipu daya terhadap orang yang dipimpin, akan tetapi tidak kepada Allah. "Mintalah ampunan kepada Tuhanmu, kemudian taubatlah kepada-Nya, maka ia akan memberimu kesenangan sampai masa yang telah ditentukan, dan tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan akan diberi keutamaan, tetapi jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku (Muhammad) sangat menghawatirkan azab yang pedih itu akan menimpamu". (QS.Huud : 3)

Menurut Al-Ghazali, taubat ialah kembali dari memperturutkan syahwat dan mentaati perintah syaitan, kepada jalan Allah Ta'ala yang lurus. Sementara dalam tafsir Al-Azhar, Hamka mengemukakan : "Taubat artinya kembali, setelah menempuh jalan yang sangat sesat tidak tentu ujung. Bertambah lama bertambah rasa gelap, lalu timbul sesal dan segera kembali". Selanjutnya Allah menerangkan di dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya taubat disisi Allahj hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mreka segera bertaubat, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya..." (Q.S.4:17).
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan, sehingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang, dan tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksaan yang pedih". (Q.S.A:18).

"Ya Allah ampunilah aku, dan terimalah taubatku, karena sesungguhnya engkau penerima taubat lagi maha pengampun".

Semakin besar tanggung jawab seseorang semakin dituntut taubatnya. Kita selalu merasa bangga pada hasil-hasil atau sukses yang dicapai, misalnya sukses dalam bidang perdagangan,
dalam meniti karir, dalam study, duduk di dewan dan sebagainya. Lalu, kita ingin orang lain mengetahui sukses yang diraih itu untuk dibanggakan, kalau perlu diteriakkan kepada orang banyak.

Tapi, di samping sukses-sukses itu kita berusaha merahasiakan kegagalan dan kekecewaan meski sulit untuk dirahasiakan. Misalnya, anak yang dididik dan diasuh sejak kecil, di sekolahkan dengan biaya mahal ke sekolah paforit bahkan sampai ke luar negeri, setelah dewasa menempuh jalan yang berbeda dengan kehendak orangtuanya, bahkan tak jarang mencemarkan nama baik orang tuanya. Karir yang dibangun dari tingkat bawah hancur seketika. Atau usaha yang dibina dengan modal pinjam kiri-kanan mengalami kerugian.

Dalam masalah yang menyangkut orang banyak, seperti pembangunan negara kita membanggakan hasil-hasil yang diperoleh dengan menunjuk angka statistik kesejahteraan rakyat berswasembada pangan.

Berdasarkan keberhasilan yang dicapai, kita bertekad memasuki tahap tinggal landas. Akan tetapi di luar dugaan, terjadi krisis ekonomi yang melanda negara kita. Anjloknya harga rupiah terhadap dolar sampai batas terendah, terjadinya bencana alam berupa kebakaran hutan serta menggusur lahan pertanian dan pemukiman rakyat, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan kasus-kasus lainnya hingga saat ini belum teratasi.

Melihat kondisi demikian, para pemimpin mulai dari tingkat bawah hingga tingkat pusat terus menerus menganjurkan agar rakyat melakukan taubat nasional. Bila kita menyadari, maka sebagai manusia, memenuhi panggilan Allah adalah wajib, para ulama-pun mengatakan taubat itu wajib hikumnya. Tapi lagi-lagi karena kelemahan kita sebagai manusia, atau karena keangkuhan, malu turun gengsi mengakui kesalahan, kita membelakangi Allah.

Kepada Allah tidak ada kesangsian-kesangsian, bahkan Allah menunggu dengan pintu terbuka akan kedatangan hamba menyatakan taubat. Nabi mengatakan: "Sesungguhnya Allah sangat gembira melihat taubat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang diantara kamu yang tiba-tiba menemukan ontanya yang hilang meninggalkan dia di tanah belantara".

"Demi Allah, bahwa aku benar-benar minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya adalah setiap hari lebih dari 70 kali".

Nabi sendiri yang maksum, yang bebas dari dosa 70 kali taubat sehari. Siapakah diantara kita ini dibandingkan dengan Nabi Muhammad yang telah dijamin masuk syurga dan telah disucikan dari dosa-dosa?

Maka sekali lagi marilah kita bertaubat kepada Allah, dengan taubat nasuha. "Aku minta ampun kepada Allah. Tiada Tuhan melainkan Dia yang Maha Hidup lagi Maha berdiri sendiri dan aku taubat kepada-Nya".

Dalam tafsir Al-Maraghi 19:40 disebutkan : "Barangsiapa yang taubat dari maksiat yang telah dikerjakannya dan dia menyesal atas perbuatannya, dan membersihkan dirinya dengan menngerjakan amal-amal shaleh, maka sesungguhnya dia betul-betul taubat kepada Allah dengan taubat nasuha". Menurut pendapat Ibnu Abbas RA : "Taubat nasuha ialah menyesali dengan hati, memohon ampunan dengan lisan, menjauhi dengan badan dan bertekad kuat untuk tidak kembali mengerjakannya". (Al-Ta'rifat, hal.63).

Kita telah cukup banyak mendengar seruan dari para pemimpin dan dari ulama-ulama. Pintu hati kita telah berulang kali diketuk, akal sehat kitapun telah menyadari kelalaian kita selama ini agar merubah tingkah laku dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menjauhkan kita dari Allah. Taubat akan meneguhkan pendirian kita, meninggikan mutu iman dan istiqomah kita.

Pengalaman pahit, kegagalan duduk di kursi dewan, kegagalan usaha yang kita hadapi berulang-ulang sebagai pribadi atau bangsa, itu hanyalah akibat belaka dari kelalaian kita sendiri. Maka demi kebahagiaan kita sebagai umat dan sebagai suatu bangsa, kitalah umat Islam yang merasakan betapa beratnya tanggungjawab kepada Allah untuk membangun bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umat. Oleh karena itu kitalah yang seharusnya terlebih dahulu melaksanakan taubat kepada-Nya tanpa menunggu orang lain.

"Berbahagialah orang yang dapat mengoreksi dirinya sendiri sebelum dia mengoreksi orang lain". Jangan menyalahkan orang lain, jada diri sendiri : "Jagalah dirimu, tiada orang lain yang sesat itu akan memberimu mudharat kepadamu apabila kamu telah memperoleh petunjuk". (Al-Maidah: 5) Semoga Allah SWT senantiasa membuka pintu taubatnya untuk kita semua, amin.
readmore »»  

Sabtu, 29 Desember 2012

Adab Safar (Bepergian Jauh)

1. Disunnatkan bagi orang yang berniat untuk melakukan perjalan jauh (safar) beristikharah terlebih dahulu kepada Allah mengenai rencana safarnya itu, dengan sholat dua raka`at di luar shalat wajib, lalu berdo`a dengan do`a istikharah.

2. Hendaknya bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari segala kemaksiatan yang pernah ia lakukan dan meminta ampun kepada-Nya dari segala dosa yang telah diperbuatnya, sebab ia tidak tahu apa yang akan terjadi di balik kepergiannya itu.

3. Hendaknya ia mengembalikan barang-barang yang bukan haknya dan amanat-amanat kepada orang-orang yang berhak menerimanya, membayar hutang atau menyerahkannya kepada orang yang akan melunasinya dan berpesan kebaikan kepada keluarganya.

4. Membawa perbekalan secukupnya, seperti air, makanan dan uang.

5. Disunnatkan bagi musafir pergi dengan ditemani oleh teman yang shalih selama perjalanannya untuk meringankan beban diperjalananya dan menolongnya bila perlu. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Kalau sekiranya manusia mengetahui apa yang aku ketahui di dalam kesendirian, niscaya tidak ada orang yang menunggangi kendaraan (musafir) yang berangkat di malam hari sendirian”. (HR. Al-Bukhari)

6. Disunnatkan bagi para musafir apabila jumlah mereka lebih dari tiga orang mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin (amir), karena hal tersebut dapat mempermudah pengaturan urusan mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila tiga orang keluar untuk safar, maka hendaklah mereka mengangkat seorang amir dari mereka”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

7. Disunnatkan berangkat safar pada pagi (dini) hari dan sore hari, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Ya Allah, berkahilah bagi ummatku di dalam kediniannya”. Dan juga bersabda: “Hendaknya kalian memanfaatkan waktu senja, karena bumi dilipat di malam hari”. (Keduanya diriwayat-kan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

8. Disunatkan bagi musafir apabila akan berangkat mengu-capkan selamat tinggal kepada keluarga, kerabat dan teman-temannya, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan dia sabdakan: “Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu dan penutup-penutup amal perbuatanmu”. (HR. At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

9. Apabila si musafir akan naik kendaraannya, baik berupa mobil atau lainnya, maka hendaklah ia membaca basmalah; dan apabila telah berada di atas kendaraannya hendaklah ia bertakbir tiga kali, kemudian membaca do`a safar berikut ini:

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى ، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى ، اَللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ ، اَللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعَثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ اْلمَنْظَرِ ، وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي اْلمَالِ وَالأَهْلِ (رواه مسلم )

Subhaanal ladzi sakhkhara lanaa haadzaa wamaa kunnaa lahu muqrinina wa innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuuna.

“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami; Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu di dalam perjalanan kami ini kebajikan dan ketaqwaan, dan amal yang Engkau ridhai; Ya Allah, mudahkanlah perjalannan ini bagi kami dan dekatkanlah kejauhannya; Ya Allah, Engkau adalah Penyerta kami di dalam perjalanan ini dan Pengganti kami di keluarga kami; Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari bencana safar dan kesedihan pemandangan, dan keburukan tempat kembali pada harta dan keluarga”. (HR. Muslim).

10. Disunnatkan bertakbir di saat jalan menanjak dan bertasbih di saat menurun, karena ada hadits Jabir yang menuturkan: “Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami bertakbir, dan apabila menurun maka kami bertasbih”. (HR. Al-Bukhari).

11. Disunnatkan bagi musafir selalu berdo`a di saat perjalanannya, karena do`anya mustajab (mudah dikabulkan).

12. Apabila si musafir perlu untuk bermalam atau beristirahat di tengah perjalanannya, maka hendaknya menjauh dari jalan; karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila kamu hendak mampir untuk beristirahat, maka menjauhlah dari jalan, karena jalan itu adalah jalan binatang melata dan tempat tidur bagi binatang-binatang di malam hari”. (HR. Muslim).

13. Apabila musafir telah sampai tujuan dan menunaikan keperluannya dari safar yang ia lakukan, maka hendaknya segera kembali ke kampung halamannya. Di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu disebutkan diantaranya: “......Apabila salah seorang kamu telah menunaikan hajatnya dari safar yang dilakukannya, maka hendaklah ia segera kembali ke kampung halamannya”. (Muttafaq’ alaih).

14. Disunnatkan pula bagi si musafir apabila ia kembali ke kampung halamannya untuk tidak masuk ke rumahnya di malam hari, kecuali jika sebelumnya diberi tahu terlebih dahulu. Hadits Jabir menuturkan :”Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang seseorang mengetuk rumah (membangunkan) keluarganya di malam hari”. (Muttafaq’alaih).

15. Disunnatkan bagi musafir di saat kedatangannya pergi ke masjid terlebih dahulu untuk shalat dua rakaat. Ka`ab bin Malik meriwayatkan: “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam apabila datang dari perjalanan (safar), maka ia langsung menuju masjid dan di situ ia shalat dua raka`at”. (Muttafaq’ alaih).
readmore »»  

Adab Pengantin Dan Pergaulan Suami Isteri

1. Merayu istri dan bercanda dengannya di saat santai berduaan. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam selalu bercanda, tertawa dan merayu istri-istrinya.

2. Meletakkan tangan di kepala istri dan mendo`akannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu menikahi seorang wanita, maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, dan bacalah bimillah lalu mohon berkahlah kepada Allah, dan hendaknya ia membaca:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيهِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ (رواه أبو داود وحسن إسناده الألباني )

Allahumma inni as-aluka min khoirihaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'udzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa 'alaihi.
“(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan sifat yang ada padanya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukanya dan keburukan sifat yang ada padanya)” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani).

3. Disunnahkan bagi kedua mempelai melakukan shalat dua raka`at bersama, karena hal tersebut dinukil dari kaum salaf.

4. Membaca basmalah sebelum melakukan jima`. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Kalau sekiranya seorang di antara kamu hendak bersenggama dengan istrinya membaca :

ِبسمِ اللهِ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Bismillah, Allahumma jannibnasy syaithon, wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa.
“(Dengan menyebut nama Alllah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami), maka sesungguhnya jika keduanya dikaruniai anak dari persenggamaannya itu, niscaya ia tidak akan dibahayakan oleh setan selama-lamanya” (Muttafaq alaih).

5. Jika sang suami ingin bersenggama lagi, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu telah bersetubuh dengan istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Muslim).

6. Disunatkan bagi kedua suami istri berwudhu sebelum tidur sesudah melakukan jima`, karena hadits Aisyah menuturkan :”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila beliau hendak makan atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” (Muttafaq’alaih).

7. Haram bagi suami menyetubuhi istrinya di saat ia sedang haid atau menyetubuhi duburnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang melakukan persetubuhan terhadap wanita haid atau wanita pada duburnya, atau datang kepada dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR. Al-Arba`ah dan dishahihkan oleh Al-Alnbani).

8. Haram bagi suami-istri menyebarkan tentang rahasia hubungan keduanya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguh-nya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki yang berhubungan dengan istrinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahasianya”. (HR. Muslim).

9. Hendaknya masing-masing saling bergaul dengan baik, dan melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut yang ma`ruf”. (Al-Baqarah: 228).

10. Hendaknya suami berlaku lembut dan bersikap baik terhadap istrinya dan mengajarkan sesuatu yang dipan-dang perlu tentang masalah agamanya, serta menekankan apa-apa yang diwajib Allah terhadapnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Ingatlah, berpesan baiklah selalu kepada istri, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan disisi kalian....” (HR. Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).

11. Hendaknya istri selalu ta`at kepada suaminya sesuai kemampuannya asal bukan dalam hal kemaksiatan, dan hendaknya tidak mematuhi siapapun dari keluarganya bila tidak disukai oleh suami dan bertentangan dengan kehendaknya, dan hendaknya istri tidak menolak ajakan suami bila mengajaknya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidutrnya lalu ia tidak memenuhi ajakannya, lalu sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknat wanita tersebut hingga pagi”. (Muttafaq alaih).

12. Hendaknya suami berlaku adil terhadap istri-istrinya di dalam masalah-masalah yang harus bertindak adil. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, niscaya ia datang di hari Kiamat kelak dalam keadaan sebelah badannya miring”. (HR. Abu Daud) 
readmore »»  

Adab Memberi Nasehat


1. Hendaknya ikhlas di dalam memberikan nasihat, tidak mengharap apapun di balik nasihatmu selain keridhaan Allah Subhannahu wa Ta'ala dan terlepas dari kewajiban. Dan hendaknya nasihatmu bukan untuk tujuan riya` atau mendapat perhatian orang atau popularitas atau menjatuhkan orang yang diberi nasihat.

2. Hendaknya nasihat dengan cara yang baik dan tutur kata yang lembut dan mudah hingga dapat berpengaruh kepada orang yang dinasihati dan mau menerimanya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik dan debatlah ia dengan cara yang lebih baik”. (An-Nahl: 125).

3. Hendaknya orang yang dinasihati itu di saat sendirian, karena yang demikian itu lebih mudah ia terima. Karena siapa saja yang menasihati saudaranya di tengah-tengah orang banyak maka berarti ia telah mencemarkannya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara sembunyi maka ia telah menghiasinya. Imam Syafi`i –rahimahullah- berkata: “Berilah aku nasihat secara berduaan, dan jauhkan aku dari nasihatmu di tengah orang banyak; karena nasihat di tengah-tengah orang banyak itu mengandung makna celaan yang aku tidak suka mendengarnya”.

4. Hendaknya pemberi nasihat mengerti betul dengan apa yang ia nasihatkan, dan hendaknya ia berhati-hati dalam menukil pembicaraan agar tidak dipungkiri, dan hendaklah ia memerintah berdasarkan ilmu; karena yang demikian itu lebih mudah untuk diterima nasihatmu.

5. Hendaknya orang yang memberi nasihat memperhatikan kondisi orang yang akan dinasihatinya. Maka hendaknya tidak menasihatinya di saat ia sedang kalut, atau di saat ia sedang bersama rekan-rekannya atau kerabatnya. Dan hendaklah pemberi nasihat mengetahui perasaan, kedudukan, pekerjaan dan problem yang dihadapi orang yang akan dinasihati itu.

6. Hendaknya pemberi nasihat menjadi teladan bagi orang yang akan dinasihati, agar jangan tergolong orang yang bisa menyuruh orang lain berbuat kebaikan sedangkan ia lupa terhadap diri sendiri. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Syu`aib: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Hud: 88).

7. Hendaknya pemberi nasihat sabar terhadap kemungkinan yang menimpanya. Luqman berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang ma`ruf dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpamu”. (Luqman: 17). Luqman menyuruh anaknya untuk sabar terhadap kemungkinan yang terjadi karena ia memerintah orang lain mengerjakan kebaikan dan mencegah
readmore »»  

Adab Jenazah dan Ta'ziyah


1. Segera merawat janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan sebagai rasa belas kasih terhadap mereka. Abu Hurairah. Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Segeralah (di dalam mengurus) jenazah, sebab jika amal-amalnya shalih, maka kebaikanlah yang kamu berikan kepadanya; dan jika sebaliknya, maka keburukan-lah yang kamu lepaskan dari pundak kamu”. (Muttafaq alaih).

2. Tidak menangis dengan suara keras, tidak meratapinya dan tidak merobek-robek baju. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Bukan golongan kami orang yang memukul-mukul pipinya dan merobek-robek bajunya, dan menyerukan kepada seruan jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari).

3. Disunatkan mengantar janazah hingga dikubur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersada: “Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menshalatkannya, maka baginya (pahala) sebesar qirath; dan barangsiapa yang menghadirinya hingga dikuburkan maka baginya dua qirath”. Nabi ditanya: “Apa yang disebut dua qirath itu?”. Nabi menjawab: “Seperti dua gunung yang sangat besar”. (Muttafaq’alaih).

4. Memuji si mayit (janazah) dengan mengingat dan menyebut kebaikan-kebaikannya dan tidak mencoba untuk menjelek-jelekkannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: ”Janganlah kamu mencaci-maki orang-orang yang telah mati, karena mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka perbuat”. (HR. Al-Bukhari).

5. Memohonkan ampun untuk janazah setelah dikuburkan. Ibnu Umar Radhiyallaahu anhu pernah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam apabila selesai mengubur janazah, maka berdiri di atasnya dan bersabda:”Mohonkan ampunan untuk saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah agar ia diberi keteguhan, karena dia sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani).

6. Disunatkan menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja`far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

7. Disunnatkan berta`ziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap sabar, dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah Dia ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan; dan segala sesuatu disisi-Nya sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mengharap pahala.
readmore »»  

Adab di Pasar


1. Hendaknya berdzikir kepada Allah di saat masuk ke pasar, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke pasar lalu membaca: 

لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ ، وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

“(Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kerajaan, dan kepunyaan-Nyalah segala pujian, Dia yang menghidupkan dan yang mematikan, dan Dia Maha Hidup tidak akan mati; di tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka Allah mencatat sejuta kebajikan baginya, dan menghapus sejuta dosa darinya, dan Dia tinggikan baginya sejuta derajat dan Dia bangunkan satu istana baginya di dalam surga”. (HR. Ahmad dan At-Turmudzi, di nilai hasan oleh Al-Albani).

2. Tidak menyaringkan suara dengan berbagai pertengkaran dan perdebatan. Di antara sifat kepribadian Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah Bahwasanya beliau bukanlah seorang yang keras kepala atau keras hati dan bukan pula orang yang suka teriak-teriak di pasar dan juga bukan orang yang membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi ia mema`afkan dan mengampuni’. (HR. Al-Bukhari).

3. Menjaga kebersihan pasar. Pasar tidak boleh dicemari dengan kotoran dan sampah, karena hal tersebut dapat melumpuhkan arus jalanan dan menjadi sumber bau busuk yang mengganggu.

4. Menjaga agar selalu memenuhi akad dan janji serta kesepakatan-kesepakatan di antara dua belah fihak (pembeli dan penjual). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. (Al-Ma’idah : 1)

5. Mengukuhkan jual beli dengan persaksian atau catatan (dokumentasi), karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya: “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”. (Al-Baqarah: 282).

6. Bersikap ramah dan memberikan kemudahan di dalam proses jual beli. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Allah akan belas kasih kepada seorang hamba yang ramah apabila menjual, ramah apabila membeli dan ramah apabila memberikan keputusan”. (HR. Al-Bukhari).

7. Jujur, terbuka dan tidak menyembunyikan cacat barang jualan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, maka tidak halal bagi seorang muslim membeli dari saudaranya suatu pembelian yang ada cacatnya kecuali telah dijelaskannya terlebih dahulu”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani). 

8. Jangan mudah mengobral sumpah di dalam berjual beli. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Hindarilah banyak bersumpah di dalam berjual-beli, karena sumpah itu dapat menghabiskan (barang) kemudian membatalkan (barakahnya)”. (HR. Muslim).

9. Menghindari penipuan, kecurangan dan pengkaburan serta berlebih-lebihan di dalam menarik keuntungan. Telah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah menjumpai setumpuk makanan, maka Nabi memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut, maka jari-jemarinya basah. Maka beliau bersabda: “Apa ini, wahai si pemilik makanan?” Pemilik makanan menjawab :Terkena hujan, wahai Rasulullah. Maka Nabi bersabda: “Kenapa bagian yang basah tidak kamu letakkan di paling atas agar dilihat oleh manusia? Barangsiapa yang curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami”. (HR. Muslim).

10. Menghindari perbuatan curang di dalam menakar atau menimbang barang dan tidak menguranginya. Allah berfirman yang artinya: “Celakalah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. (Al-Muthaffifin : 1-3).

11. Menghindari riba, penimbunan barang dan segala perbuatan yang dapat merugikan orang banyak. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Allah mengutuk (melaknat) pemakan riba, pemberinya, saksi dan penulisnya”. (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Al-Albani). Dan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak akan menimbun barang kecuali orang yang salah “. (HR. Muslim).

12. Membersihkan pasar dari segala barang yang haram diperjual-belikan.

13. Menghindari promosi-promosi palsu yang bertujuan menarik perhatian pembeli dan mendorongnya untuk membeli, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang najasy. (Muttafaq’alaih). Najasy adalah semacam promosi palsu.

14. Hindarilah penjulan barang rampasan (hasil ghashab) dan curian. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (Al-Nisa: 29).

15. Menundukkan pandangan mata dari wanita dan menghindar dari percampurbauran dan berdesak-desakan dengan mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; (An-Nur: 30-31).

16. Selalu menjaga syi`ar-syi`ar agama (shalat berjama`ah, dll.), tidak melalaikan shalat berjama`ah karena berjual-beli. Maka sebaik-baik manusia adalah orang yang keduniaannya tidak membuatnya lalai terhadap masalah-masalah akhiratnya atau sebaliknya. Allah berfirman yang artinya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) menu-naikan zakat”. (An-Nur: 37).
readmore »»  

Adab Bertetangga


1. Menghormati tetangga dan berprilaku baik terhadap mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu : “....Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memu-liakan tetangganya”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: “hendaklah ia berprilaku baik terhadap tetangganya”. (Muttafaq’alaih).

2. Bangunan yang kita bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup dari sinar matahari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya, apakah merusak atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti perasaannya.

3. Hendaknya Kita memelihara hak-haknya di saat mereka tidak di rumah. Kita jaga harta dan kehormatan mereka dari tangan-tangan orang jahil; dan hendaknya kita ulurkan tangan bantuan dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, serta memalingkan mata kita dari wanita mereka dan merahasiakan aib mereka.

4. Tidak melakukan suatu kegaduhan yang mengganggu mereka, seperti suara radio atau TV, atau mengganggu mereka dengan melempari halaman mereka dengan kotoran, atau menutup jalan bagi mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman! Nabi ditanya: Siapa, wahai Rasulullah? Nabi menjawab: “Adalah orang yang tetangganya tidak merasa tentram karena perbuatan-nya”. (Muttafaq’alaih).

5. Jangan kikir untuk memberikan nasihat dan saran kepada mereka, dan seharusnya kita ajak mereka berbuat yang ma`ruf dan mencegah yang munkar dengan bijaksana (hikmah) dan nasihat baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan mereka.

6. Hendaknya kita selalu memberikan makanan kepada tetangga kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Dzarr: “Wahai Abu Dzarr, apabila kamu memasak sayur (daging kuah), maka perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu”. (HR. Muslim).

7. Hendaknya kita turut bersuka cita di dalam kebahagiaan mereka dan berduka cita di dalam duka mereka; kita jenguk bila ia sakit, kita tanyakan apabila ia tidak ada, bersikap baik bila menjumpainya; dan hendaknya kita undang untuk datang ke rumah. Hal-hal seperti itu mudah membuat hati mereka jinak dan sayang kepada kita.

8. Hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahan/kekeliruan mereka dan jangan pula bahagia bila mereka keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan mereka.

9. Hendaknya kita sabar atas prilaku kurang baik mereka terhadap kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah.... –Disebutkan di antaranya- :Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah oleh kematian atau keberangkatannya”. (HR. Ahmad) 
readmore »»  

Bolehkah Kita Menabur Bunga Diatas Kuburan?


Assalamualaikum,
Ustadz saya berziarah ke kuburan saudara saya,tapi sepertinya ada yang mengganjal dari hati saya ketika saya harus menabur bunga dan menyiramnya dengan air mawar, apakah itu diperbolehkan ?
-------------
Jawab:
-------------
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Tidak Ada Dasar Hukum Yang jelas bahwa praktek tabur bunga itu tidak ada perintah atau dasar aturannya dari syariat Islam. Adapun apakah bila melakukannya seseorang dianggap melakukan bid’ah dan dosa, hal itu masih bisa menjadi bahan perbedaan di antara para ulama.

Sebagian ulama memandang apa pun jenis pekerjaan yang terkait dengan kuburan yang tidak ada contoh atau perintahnya dari Nabi SAW adalah bid’ah, sesat dan dosa. Sehingga tabur bunga, menziarahi kubur pada waktu tertentu, membaca Al-Quran di kuburan dan sebagainya sudah dianggap dosa. Meskipun tidak ada dalil yang secara sharih dan tegas melarang hal itu.

Disisi lain, ada sebagian ulama yang tidak mengharamkan langsung apa-apa yang tidak ada dasar perintahnya dari Nabi SAW. Mereka berpatokan bahwa asal hukum segala sesuatu itu halal, sampai ada dalil tegas yang mengharamkannya. Apalagi urusan kuburan ini bukanlah termasuk ibadah mahdhah yang hukum dasarnya haram, kecuali ada perintahnya.

Sedangkan di luar masalah ibadah mahdhah, hukum dasarnya justru halal dan silahkan kerjakan apa saja, sampai adanya dalil yang melarangnya. Dan ternyata tidak ada dalil yang secara tegas melarang untuk menabur bunga dan air mawar ke kuburan, menurut mereka. Jalan tengah dari kedua perbedaan ini adalah sebaiknya kita tidak melakukan sesuatu yang dikhawatirkan nantinya bisa dianggap oleh orang sebagai bagian dari ritual ibadah. Kalau memang suatu hal tidak ada dasar perintahnya dari syariat, maka untuk apa dilakukan, apalagi bila secara logika memang tidak ada penjelasannya.

Tidak Punya Dasar Logika Dan Dasar Syariah Menabur bunga di atas kuburan dan air mawar tidak bisa dijelaskan alasannnya secara logika, juga tidak ada alasannya secara syariah. Lalu alasan satu-satunya adalah dalil ikut-ikutan orang lain. Karena melihat orang lain melakukan tabur bunga dan menyiram air mawar, lalu karakteristik bangsa kita yang salah satunya ikut-ikutan mendorong kita melakukannya, bahkan merasa ‘WAJIB’ untuk melakukannya.

Pada tingkat merasa WAJIB inilah sebenarnya kita sudah masuk ke wilayah rawan bid’ah. Sebab sebuah bid’ah itu selalu dimulai dari hal yang tadinya dianggap biasa-biasa sja, lalu seiring dengan bergantinya generasi, jadilah praktek itu seusaudu yang WAJIB dilakukan. Dan itulah bid’ah yang sejati.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 
readmore »»  

Bolehkah Kencing Dengan Berdiri ?


Ada lima hadits yang membicarakan mengenai masalah ini. Tiga hadits adalah hadits yang shahih. Sedangkan dua hadits lainnya adalah dho’if (lemah).

Hadits Pertama

Hadits pertama ini menceritakan bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengingkari kalau ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi pernah kencing sambil berdiri.

‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- mengatakan,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَاعِدًا

“Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian membenarkannya. (Yang benar) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa kencing sambil duduk.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 201 bahwa hadits ini shahih). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang lebih bagus dan lebih shahih dari hadits lainnya tatkala membicarakan masalah ini.”

Hadits Kedua

Hadits ini menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Kencing dalam Keadaan Berdiri dan Duduk.”

Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

أَتَى النَّبِىُّ ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا ، فَدَعَا بِمَاءٍ ، فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ ، فَتَوَضَّأَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan air. Aku pun mengambilkan beliau air, lalu beliau berwudhu dengannya.” (HR. Bukhari no. 224 dan Muslim no. 273).

Hadits ini tentu saja adalah hadits yang shahih karena disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Ibnu Baththol tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya kencing sambil berdiri.”[1]

Hadits Ketiga

Hadits berikut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil duduk.

‘Abdurrahman bin Hasanah mengatakan,

خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي يَدِهِ كَهَيْئَةِ الدَّرَقَةِ قَالَ : فَوَضَعَهَا ، ثُمَّ جَلَسَ فَبَالَ إِلَيْهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami dan di tangannya terdapat sesuatu yang berbentuk perisai, lalu beliau meletakkannya kemudian beliau duduk lalu kencing menghadapnya.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits Keempat

Hadits berikut ini membicarakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Umar kencing sambil berdiri, namun hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).

‘Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata,

رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ :« يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا ». قَالَ فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau mengatakan, “Wahai ‘Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri.” Umar pun setelah itu tidak pernah kencing lagi sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Syaikh Al Huwainiy –ulama hadits saat ini- mengatakan, “Ibnul Mundzir berkata bahwa hadits ini tidak shahih. Adapun Asy Syaukani sebagaimana dalam As Sail Al Jaror mengatakan bahwa As Suyuthi telah menshohihkan hadits ini!! Boleh jadi As Suyuthi melihat pada riwayat Ibnu Hibban. Lalu beliau tidak menoleh sama sekali pada tadlis yang biasa dilakukan oleh Ibnu Juraij. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa As Suyuthi bergampang-gampangan dalam menshohihkan hadits. Kemudian hadits ini dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan dari Ibnu ‘Umar. Namun sudah diketahui bahwa hadits ini berasal dari ‘Umar (ayah Ibnu ‘Umar). Saya tidak mengetahui apakah di sini ada perbedaan sanad ataukah hal ini tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Hibban?!”[2]

Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini dho’if (lemah). Yang tepat, tidaklah mengapa seseorang kencing sambil berdiri asalkan aman dari percikan kencing. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath mengatakan, “Tidak terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan larangan kencing sambil berdiri.” Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar, beliau berkata, “Aku tidak pernah kencing sambil berdiri sejak aku masuk Islam”. Sanad hadits ini shahih. Namun dari jalur lain, dari Zaid, beliau berkata, “Aku pernah melihat ‘Umar kencing sambil berdiri”. Sanad hadits ini juga shahih. Oleh karena itu, hal inilah yang dilakukan oleh ‘Umar dan ini menunjukkan telah jelas bagi ‘Umar bahwa tidak mengapa kencing sambil berdiri”.”[3]

Hadits Kelima

Hadits berikut menunjukkan bahwa kencing sambil berdiri adalah termasuk perangai yang buruk, namun hadits ini juga adalah hadits yang dho’if (lemah).

Dari Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثلاثٌ مِنَ الجَفاءِ أنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قائِماً أوْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ أوْ يَنْفُخَ في سُجُودِهِ

“Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk: [1] kencing sambil berdiri, [2] mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau [3] meniup (debu) di (tempat) sujud.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tarikh dan juga oleh Al Bazzar)

Syaikh Al Huwaini –hafizhahullah- mengatakan, “Yang benar, hadits ini adalah mauquf (cuma perkataan sahabat) dan bukan marfu’ (perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Di tempat sebelumnya, Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa hadits ini ghoiru mahfuzh artinya periwayatnya tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi periwayat tsiqoh yang banyak atau yang lebih tsiqoh.[4] Jika demikian, hadits ini adalah hadits yang lemah (dho’if).

Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah).[5]

Terdapat perkataan yang shahih sebagaimana hadits Buraidah di atas, namun bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi perkataan Ibnu Mas’ud.

Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

إِنَّ مِنَ الجَفَاءِ أَنْ تَبُوْلَ وَأَنْتَ قَائِمٌ

“Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi). Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa periwayat hadits ini adalah periwayat yang tsiqoh (terpercaya). Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi bahwa hadits ini shahih. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud mengenai kencing sambil berdiri.

Menilik Perselisihan Para Ulama

Dari hadits-hadits di atas, para ulama akhirnya berselisih pendapat mengenai hukum kencing sambil berdiri menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama: dimakruhkan tanpa ada udzur. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, ‘Umar dalam salah satu riwayat (pendapat beliau terdahulu), Abu Musa, Asy Sya’bi, Ibnu ‘Uyainah, Hanafiyah dan Syafi’iyah.

Pendapat kedua: diperbolehkan secara mutlak. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Umar dalam riwayat yang lain (pendapat beliau terakhir), Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Umar, Sahl bin Sa’ad, Anas, Abu Hurairah, Hudzaifah, dan pendapat Hanabilah.

Pendapat ketiga: diperbolehkan jika aman dari percikan, sedangkan jika tidak aman dari percikan, maka hal ini menjadi terlarang. Inilah madzhab Imam Malik dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.[6]

Pendapat Terkuat

Pendapat terkuat dari pendapat yang ada adalah kencing sambil berdiri tidaklah terlarang selama aman dari percikan kencing. Hal ini berdasarkan beberapa alasan:

Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing sambil berdiri selain dari hadits yang dho’if (lemah).
Hadits yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil duduk tidaklah bertentangan dengan hadits yang menyebutkan beliau kencing sambil berdiri, bahkan kedua-duanya diperbolehkan.
Terdapat hadits yang shahih dari Hudzaifah bahkan hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri.
Sedangkan perkataan ‘Aisyah yang mengingkari berita kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kencing sambil berdiri hanyalah sepengetahuan ‘Aisyah saja ketika beliau berada di rumahnya. Belum tentu di luar rumah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kencing sambil berdiri. Padahal jika seseorang tidak tahu belum tentu hal tersebut tidak ada. Mengenai masalah ini, Hudzaifah memiliki ilmu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Jadi, ilmu Hudzaifah ini adalah sanggahan untuk ‘Aisyah yang tidak mengetahui hal ini.

Itulah sedikit ulasan mengenai kencing sambil berdiri. Semoga pembahasan ini bisa menjawab masalah dari beberapa pembaca yang belum menemukan titik terang mengenai permasalahan ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
readmore »»