Sabtu, 18 Mei 2013

Sehat cara Rasulullah

Rasulullah SAW dalam catatan sejarah Islam disebutkan bahwa selama hidupnya beliau hanya pernah sakit sebanyak dua kali, yaitu di saat pertengahan hidup dan menjelang wafatnya. Itu pun hanya berlangsung sebentar serta hampir tidak merepotkan masyarakat.

Kemampuan Rasulullah SAW menjaga kesehatannya hingga hanya dua kali menderita sakit, adalah satu catatan sejarah dan prestasi yang luar biasa. Itu merupakan prestasi pengendalian kesehatan yang langka.

Rasulullah SAW sadar, Allah SWT sangat membenci manusia yang lalai. Apalagi sampai mengganggu serta membuat bencana kesehatan. Rasulullah SAW memulai dari hal-hal kecil seperti berolahraga, menggosok gigi, dan menyisir rambut. Aktivitas tersebut, oleh Rasulullah SAW dipandang sebagai ibadah, yang berarti berpahala.

Banyak tokoh dunia seperti Napoleon Bonaparte dan Von Goethe yang kagum terhadap kemampuan Muhammad SAW menjaga kesehatan. Hanya dengan fasilitas yang serba sedikit, beliau bisa menjaga kesehatan, dari rambut sampai telapak kaki, baik dalam maupun luar, dari tahun ke tahun.

Apa resep yang dipergunakan Nabi Muhammad SAW? Jawabnya adalah kedisiplinan. Pertama, Nabi Muhammad SAW selalu bangun menjelang fajar. Selesai shalat tidak tidur lagi, tetapi terus mengucapkan zikir, mengaji, serta mencari nafkah. Bangun menjelang fajar memang lebih nyaman daripada bangun setelah terbit matahari karena bisa membuat tubuh sehat, nyaman, dan bugar.

Kedua, Nabi Muhammad SAW makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Beliau makan untuk keperluan hidup, bukan hidup untuk makan. Ketiga, Nabi Muhammad SAW bila marah tanpa emosi, meskipun dengan tujuan positif. Marah yang disertai dengan emosi, tidak menunjukkan keikhlasan dan kecintaan terhadap yang dimarahinya.

Beliau marah seratus persen karena Allah SWT. Marah beliau seperti marah seorang ayah terhadap anak yang sedang main-main dengan senjata tajam. Artinya, marah beliau hanya tampak dari wajah, tetapi nurani Rasulullah SAW menunjukkan sikap kasih sayang.

Keempat, Muhammad SAW tidak pernah minum sambil bernapas. Air yang beliau minum selalu dari wadah tertutup. Menurut beliau, air dari wadah terbuka mudah terkena debu.

Kelima, Muhammad SAW tidak mudah tersugesti bila dihadapkan pada suatu kondisi (kesehatan) yang tidak menguntungkan. Karena bagi beliau, gampang terpengaruh tidak menunjukkan sikap sabar. Maksud sugesti di sini ialah menanggapi suatu situasi yang menimpa tubuh dengan perasaan secara berlebihan.

Sebagai manusia, kepekaan fisik Nabi Muhammad SAW terhadap lingkungan sama saja dengan kita. Ini perlu ditegaskan, agar jangan sampai menimbulkan kesan bahwa beliau sangat jarang sakit karena manusia pilihan.

readmore »»  

Agama Islam Itu Mudah

Kerap kali manusia mengulang-ulang perkataan ini (yaitu ucapan "Sesungguhnya agama itu mudah"), akan tetapi (sebenarnya) mereka (tidak menginginkan) dengan ucapan itu, untuk tujuan memuji Islam, atau melunakkan hati (orang yang belum mengerti Islam) dan semisalnya. Yang diinginkan mereka adalah pembenaran terhadap perbuatan mereka yang menyelisihi syari'at. Bagi mereka kalimat itu adalah kalimat haq, namun yang diinginkan dengannya adalah sebuah kebatilan.

Ketika salah seorang diantara kita ingin memperbaiki perbuatan yang menyalahi syari'at, orang-orang yang menyalahi (syari'at itu) berhujjah dengan perkataan mereka : "Islam adalah agama yang mudah". Mereka berusaha mengambil keringanan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, dengan sangkaan bahwa mereka telah menegakkan hujjah bagi orang yang menasehati mereka agar mengikuti syariat yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Orang-orang yang menyelisihi syariat itu hendaknya mengetahui bahwa Islam adalah agama yang mudah. (Akan tetapi maknanya adalah) dengan mengikuti keringanan-keringanan yang diberikan Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya kepada kita.

Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya telah memberi keringanan bagi kita, ketika kita membutuhkan keringanan itu dan ketika adanya kesulitan dalam mengikuti (melaksanakan perintah) yang sebenarnya.

Asal dari ungkapan " Sesungguhnya agama itu mudah" adalah penggalan kalimat dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan, dan (dalam beramal) hendaklah pertengahan (yaitu tidak melebihi dan tidak mengurangi), bergembiralah kalian, serta mohonlah pertolongan (didalam ketaatan kepada Allah) dengan amal-amal kalian pada waktu kalian bersemangat dan giat".

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menerangkan ungkapan "Sesungguhnya agama itu mudah" dalam kitabnya yang tiada banding (yang bernama) : Fathul Baariy Syarh Shahih Al-Bukhari 1/116. Beliau berkata : "Islam itu adalah agama yang mudah, atau dinamakan agama itu mudah sebagai ungkapan lebih (mudah) dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Karena Allah Jalla Jalaluhu mengangkat dari umat ini beban (syariat) yang dipikulkan kepada umat-umat sebelumnya. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah (dalam masalah taubat), taubatnya umat terdahulu adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan taubatnya umat ini adalah dengan meninggalkan (perbuatan dosa) dan berazam (berkemauan kuat) untuk tidak mengulangi.

Kalau kita melihat hadits ini secara teliti, dan melihat kalimat sesudah ungkapan "agama itu mudah", kita dapati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada kita bahwa seorang muslim berkewajiban untuk tidak berlebih-lebihan dalam perkara ibadahnya, sehingga (karena berlebih-lebihan) ia akan melampui batas dalam agama, dengan membuat perkara bid'ah yang tidak ada asalnya dalam agama.

Sebagaimana keadaan tiga orang yang ingin membuat perkara baru (dalam agama). Salah seorang di antara mereka berkata : "Saya tidak akan menikahi perempuan", yang lain berkata : "Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka", yang ketiga berkata : "Saya akan shalat malam semalam suntuk". Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mereka dari hal itu semua, dan memberi pengarahan kepada mereka agar membaguskan amal mereka semampunya, dan hendaknya dalam mendekatkan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu, (beribadah) dengan ibadah yang telah diwajibkan Allah Jalla Jalaluhu kepada mereka.

Dan hendaknya mereka tidak membuat-buat perkara yang tidak ada asalnya dalam agama ini, karena mereka sekali-kali tidak akan mampu (mengamalkannya), (sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) " Maka sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan".

Maka ungkapan "Agama itu mudah" maknanya adalah : "Bahwa agama yang Allah Jalla Jalaluhu turunkan ini semuanya mudah dalam hukum-hukum, syariat-syariatnya". Dan kalaulah perkara (agama) diserahkan kepada manusia untuk membuatnya, niscaya seorangpun tidak akan mampu beribadah kepada Allah Jalla Jalaluhu.

Maka jika orang-orang yang menyelisihi syariat tidak mendapatkan "kekhususan" (tidak mendapat celah sebagai pembenaran atas perbuatan mereka) dengan hadits diatas, mereka akan lari kepada hadits-hadits lain, yang dengannya mereka berhujjah bagi perbuatan mereka yang menggampang-gampangkan dalam perkara agama.

Diantara hadits-hadits yang mereka jadikan alasan dalam masalah ini, adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai keringanan-keringanannya diambil sebagaimana Dia membenci kemaksiatannya didatangi/dikerjakan"
Dalam riwayat lain.

"Artinya : Sebagaimana Allah menyukai kewajiban-kewajibannya didatangi"
Hadits lain adalah sabda Nabi :

"Artinya : Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah (dalam melaksanakan tugas) dan jangan berselisih" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Hadits yang ketiga.

"Artinya : Mudahkanlah, janganlah mempersulit, dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membikin manusia lari (dari kebenaran)".

Adapun hadits yang pertama, wajib bagi kita untuk mengetahui bahwa keringanan-keringanan dalam agama Islam banyak sekali, diantaranya : berbukanya musafir ketika bepergian, orang yang tertinggal dalam shalat boleh mengqadha (mengganti), orang yang tertidur atau lupa boleh mengqadha shalat, orang yang tidak mendapatkan binatang sembelihan dalam haji tamattu boleh berpuasa, tayamum sebagai ganti wudhu ketika tidak ada air atau ketika tidak mampu untuk berwudhu ... dan lainnya diantara keringanan yang banyak tidak diamalkan kecuali jika terdapat kesulitan dalam melaksanakan perintah yang sebenarnya.

Dan perlu kita perhatikan, bahwa keringanan-keringanan ini adalah syari'at Allah Jalla Jalaluhu dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dengan izin Allah Jalla Jalaluhu). Dan tidak diperbolehkan seorang muslim manapun, untuk mendatangkan (mengada-ada) keringanan (dalam masalah agama) tanpa dalil, karena hal ini adalah termasuk mengadakan perkara baru dalam agama yang tidak berdasar.

Dan perhatikanlah wahai saudaraku sesama muslim (surat Al-Baqarah ayat 185), yang menceritakan tentang puasa dan keringanan berbuka bagi orang yang sakit atau bepergian, lalu firman Allah Jalla Jalaluhu sesudah ayat itu.

"Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

Makna ini menerangkan makna mudah (menurut Allah Jalla Jalaluhu), yang maknanya adalah keringanan itu datangnya dari sisi Allah saja, tiada sekutu bagiNya. Atau (keringanan itu) dari syariat Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam dengan wahyu dari Allah Jalla Jalaluhu. Ayat ini juga menerangkan bahwa makna mudah itu dengan mengikuti hukum Allah Jalla Jalaluhu (yang tiada sekutu bagiNya) dan mengikuti syariatNya. Inilah yang bekenaan dengan hadits yang pertama tadi.

Adapun hadits yang kedua dan tiga, maka pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsu serta menyelisihi syariat (dengan kedua hadits itu) adalah batil, dan termasuk merubah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari makna yang sebenarnya, dan keluar dari makna yang dimaksud.

Tafsir kedua hadits yang lalu berhubungan dengan para da'i yang menyeru kepada agama Islam. Dalam kedua hadits itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memantapkan kaidah penting dari kaidah-kaidah dasar dakwah kepada Allah Jalla Jalaluhu, yaitu berdakwah dengan lemah lembut dan tidak kasar. Maka dakwah para dai yang sepatutnya disampaikan pertama kali kepada orang-orang kafir adalah Syahadat, lalu Shalat, Puasa , Zakat. Kemudian (hendaknya) mereka menjelaskan kepada manusia tentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu menerangkan amal perbuatan yang wajib, yang sunnah dan yang makruh. Jika melihat suatu kesalahan yang disebabkan karena kebodohan atau lupa, maka hendaklah bersabar dan mendakwahi manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan serta tidak kasar. Allah Jalla Jalaluhu berfirman.

"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu" [Ali Imran : 159]

Sesudah memahami hadits-hadits itu, dan penjelasan makna keringanan dan kemudahan. Maka saya berkata kepada orang-orang yang merubah dan mengganti makna-makna hadits-hadits tersebut (karena ingin mengenyangkan hawa nafsu mereka dengan perbuatan itu) :

"Bertaqwalah kepada Allah Jalla Jalaluhu dan ikutilah apa yang diperintahkan kepada kalian, dan jauhilah laranganNya, dan tahanlah (diri kalian) dari merubah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan takutilah suatu hari yang kalian dikembalikan kepada Allah Jalla Jalaluhu lalu setiap jiwa akan disempurnakan dengan apa yang ia usahakan. Dan takutlah kalian jangan sampai diharamkan dari mendatangi telaga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lantaran kalian mengganti agama Allah Jalla Jalaluhu dan merubah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Saya mengharapkan dari Allah Jalla Jalaluhu yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri agar memberi petunjuk kepada kita dan kaum muslimin seluruhnya untuk mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah NabiNya, dan agar Allah Jalla Jalaluhu mengajarkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, dan memberi manfaat dari apa yang Dia ajarkan, serta memelihara kita dari kejahatan perbuatan bid'ah dan penyelewengan, serta kejahatan mengubah dan mengganti (syariat Allah).
readmore »»  

Selasa, 14 Mei 2013

SIAPA YANG BERHAK BERPOLITIK ? DAN KAPAN ?

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Artikel yang sedang anda nikmati ini, merupakan sebagian dari jawaban syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adapun bentuk pertanyan dan sebagian dari jawabannya yang lain akan kami muat secara lengkap mulai Masalah ke- 107, insya Allah

Menyibukkan diri dengan politik pada saat ini adalah membuang-buang waktu ! Meskipun kami tidak mengingkari adanya politik dalam Islam, hanya saja dalam waktu yang sama kami meyakini adanya tahapan-tahapan syar'i yang logis yang harus dilalui satu per satu.

Kami memulai dengan aqidah, yang kedua ibadah, kemudian akhlak, dengan mengadakan pemurnian dan pendidikan, kemudian akan datang suatu hari dimana kita pasti masuk dalam fase politik secara syar'i, karena berpolitik berarti mengatur urusan-urusan umat. Dan yang mengatur urusan-urusan umat ? Bukanlah Zaid, Bakar, ataupun Umar, yang mendirikan kelompok atau memimpin gerakan atau suatu jama'ah !! Bahkan urusan ini khusus bagi ulil amri yang dibaiat di hadapan kaum muslimin. Dia (ulil amri) lah yang diwajibkan mengetahui politik dan mengaturnya. Apabila kaum muslimin tidak bersatu -seperti keadaan kita saat ini- maka setiap ulil amri hanya berkuasa dan memikirkan sebatas wilayah kekuasaannya saja.

Adapun menyibukkan diri dalam urusan-urusan (politik) maka seandainya pun kita benar-benar mengetahui urusan-urusan tersebut, pengetahuan kita itu tidak memberi manfaat kepada kita, karena kita tidak memiliki keputusan dan wewenang untuk mengatur umat. Satu hal ini pun sudah cukup menjadikan usaha kita sia-sia.

Kami akan memberikan suatu contoh : Peperangan yang terjadi melawan kaum muslimin pada kebanyakan negeri-negeri Islam. Apakah bermanfaat jika kita menyulut semangat kaum muslimin untuk menghadapi orang kafir padahal kita tidak memiliki "jihad wajib" yang diatur oleh imam yang bertanggung jawab yang telah dibaiat ?! Tidak ada gunanya perbuatan tersebut. Kami tidak berkata bahwa menolong orang-orang yang tertindas itu tidak wajib, akan tetapi kami mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan politik bukan sekarang waktunya. Oleh karena itu, wajib atas kita untuk mengajak kaum muslimin kepada dakwah, untuk memahamkan mereka kepada Islam yang benar dan mendidik mereka dengan tarbiyah yang benar.

Adapun menyibukkan mereka dengan urusan-urusan emosional yang menyentil semangat, maka hal itu termasuk dalam hal-hal yang dapat memalingkan mereka dari kemantapan dalam memahami da'wah yang wajib ditegakkan oleh setiap muslim mukallaf, seperti memperbaiki aqidah, ibadah, dan akhlak. Dan hal itu termasuk fardhu 'ain yang tidak bisa dimaklumi orang yang melalaikannya. Sedangkan urusan-urusan lain yang dinamakan pada saat ini dengan "fiqhul waqi" dan sibuk dengan urusan politik yang merupakan tanggung jawab ahlul halli wal aqdi, yang dengan kekuasaan mereka, mereka bisa mengambil manfaat dari hal yang demikian secara praktek. Adapun sebagian orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka mengetahui politik dan menyibukkan mayoritas manusia dengan sesuatu yang penting daripada sesuatu yang lebih penting adalah termasuk sebagai hal-hal yang memalingkan mereka dari pengetahuan yang benar!.

Dan inilah yang kami rasakan sesungguhnya pada kebanyakan dari manhaj kelompok-kelompok dan jama'ah-jama'ah Islam pada saat ini. Dimana kami mengetahui bahwa sebagian mereka berpaling dari mengajari pemuda-pemuda muslim yang berkumpul disekitar da'i itu untuk belajar memahami aqidah, ibadah dan akhlak yang benar. Karena sebagian para da'i itu sibuk dengan urusan politik dan masuk ke parlemen-parlemen yang berhukum dengan selain apa-apa yang Allah turunkan!! Sehingga hal itu memalingkan mereka dari hal yang lebih penting dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dalam kondisi seperti sekarang ini.

Adapun tentang apa-apa yang termuat dalam pertanyaan yaitu tentang bagaimana seorang muslim berlepas diri dari dosa (tanggung jawab) atau bagaimana seorang muslim berperan serta dalam mengubah kenyataan yang pahit ini, maka kami katakan : Setiap muslim berkewajiban berbuat sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seorang ulama mempunyai kewajiban yang berbeda dengan yang bukan ulama. Dan sebagaimana yang saya sebutkan dalam kesempatan seperti ini bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan nikmat-Nya dengan kitab-Nya, dan dia menjadikan Al-Qur'an sebagai undang-undang bagi kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya". (Al-Anbiya : 7).

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan masyarakat Islam menjadi dua bagian yaitu orang yang berilmu dan yang bukan berilmu (awam). Dan Allah mewajibkan kepada masing-masing di antara keduanya apa-apa yang tidak Allah wajibkan kepada yang lainnya. Maka kewajiban atas orang-orang yang bukan ulama adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli ilmu. Dan kewajiban atas para ulama adalah hendaknya menjawab apa-apa yang ditanyakan kepada mereka. Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu itu sendiri. Seorang yang berilmu pada saat ini kewajibannya adalah berda'wah mengajak kepada da'wah yang hak sesuai dengan batas kemampuannya. Dan orang yang bukan berilmu kewajibannya adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi dirinya atau bagi orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya seperti istri, anak atau semisalnya. Sehingga apabila seorang muslim dari masing-masing bagian ini menegakkan kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". (Al-Baqarah : 286).

Kami -dengan sangat prihatin- hidup ditengah-tengah penderitaan dan kejadian-kejadian tragis yang menimpa kaum muslimin yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, yaitu berkumpul dan bersatunya orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti dalam hadits beliau yang dikenal dan shahih.

"Artinya : 'Telah berkumpul umat-umat untuk menghadapi kalian, sebagaimana orang-orang yang makan berkumpul menghadapi piringnya'. Mereka berkata : Apakah pada saat itu kami sedikit wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : 'Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan, dan Allah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kalian kepada kalian, dan Allah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn'. Mereka berkata : Apakah penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab :'Cinta dunia dan takut akan mati". (Haadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (4297), Ahmad (5/287), dari hadits Tsaubah Radhiyallahu anhu, dan dishahihkan oelh Al-Albani dengan dua jalannya tersebut dalam As-Shahihah (958)).

Kalau begitu, maka wajib atas para ulama untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah dan tarbiyah dengan cara mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar serta ibadah-ubadah dana akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya masing-masaing di negeri-negeri yang dia diami, karena mereka tidak mampu menegakkan jihad menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka keadaannya seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga mereka tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk menghadapi musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi kewajiban mereka adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar'i yang memungkinkan untuk dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan materi, dan seandainya kita mampu pun, kita tidak mampu bergerak, karena terdapat pemerintahan, pemimpin dan penguasa-penguasa dalam kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin menjalankan politik yang tidak sesuai dengan politik syar'i, sangat disesalkan sekali. Akan tetapi kita mampu merealisasikan -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala- dua perkara agung yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian) dan tarbiyah (pendidikan). Dan ketika para da'i muslim menegakkan kewajiban yang sangat penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan politik syar'i, dan mereka bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan tarbiyah), maka saya yakin pada suatu hari akan terjadi apa yang Allah katakan : "Artinya : Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah". (Ar-Ruum : 4-5).
readmore »»  

Sombong dan Pengaruhnya Dalam kehidupan

Sombong atau yang sering kita kenal dengan istilah kibr, takabur dan istikbar -ketiganya hampir semakna-, merupakan suatu kondisi seseorang di mana ia merasa lain dari yang lain (dengan keadaan tersebut) sebagai pengaruh i’jab (kebanggaan) terhadap diri sendiri, yaitu dengan adanya anggapan atau perasaan, bahwa dirinya lebih tinggi dan besar daripada selainnya.

Maka tidak akan berlaku sombong, kecuali orang yang merasa dirinya besar dan tinggi, dan ia tidak merasa tinggi atau besar, kecuali karena adanya keyakinan, bahwa dirinya memiliki keunggulan, kelebihan dan kesempurnaan yang dengannya ia menganggap berbeda dengan orang lain.

Ada beberapa sebab yang mendorong seseorang menganggap dirinya lebih unggul daripada orang lain, sehingga melahirkan kesombongan dalam jiwa, yaitu:

1. Sombong dengan Ilmu
Ada sebagian thalib ilmu atau orang yang diberi pengetahuan oleh Allah, namun malah justru menjadikan dirinya sombong. Ia merasakan dirinyalah yang paling pandai (alim), menganggap rendah orang lain, menganggap bodoh mereka dan selalu ingin agar dirinya mendapatkan penghormatan, pelayanan dan fasilitas khusus dari mereka. Dia memandang, bahwa dirinya lebih mulia, tinggi dan utama di sisi Allah daripada mereka.

Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang menjadi sombong dengan ilmunya:

Pertama, Ia mencurahkan perhatian terhadap apa yang ia anggap sebagai ilmu, padahal hakikatnya ia bukanlah ilmu. Ia tak lebih sebagai data atau informasi yang direkam dalam otak yang tidak memberikan buah dan hasil, karena ilmu yang sesungguhnya akan semakin membuat ia kenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya. Ilmu yang hakiki akan melahirkan sikap khosyah (takut kepada Allah) dan tawadhu’ (rendah hati), bukan sombong, sebagai-mana firman Allah I ,

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir : 28)

Ke dua, Al-khoudl fil ilm yaitu belajar dengan tujuan agar dapat berbicara banyak, berdebat dan menjatuhkan orang dengan kepiawaian yang dimilikinya, sehingga orang menilainya sebagai orang alim yang tak terkalahkan ilmu-nya. Selayaknya ia lebih dahulu memperbaiki hati dan jiwanya, membersihkan dan menatanya, sehingga tujuan dalam mencari ilmu menjadi benar dan lurus. Karena merupakan karakteristik khas dari ilmu, bahwasanya ia menjadikan pemiliknya bertambah takut kepada Allah dan tawadhu’ terhadap sesama manusia. Ibarat pohon tatkala banyak buahnya, maka ia semakin merunduk dan merendah, sehingga orang akan dengan lebih mudah mendapatkan kebaikan dan manfaat darinya.

Orang, apabila telah hobi mengumbar omongan, bantah-bantahan dan debat kusir, maka ilmunya justru akan melemparkannya kepada kedudukan yang rendah dan pengetahuan yang dimilikinya tidak akan membuahkan hasil yang baik, sehingga keberkahan ilmu tidak tampak sama sekali.

2. Sombong dengan Amal Ibadah

Kesombongan ahli ibadah dari segi keduniaan adalah ia menghendaki, -atau paling tidak membuat kesan-, agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang zuhud, wara’, taqwa dan paling mulia di hadapan manusia. Sedangkan dari segi agama adalah ia memandang, bahwa orang lain akan masuk neraka, sedang dia selamat darinya.

Sebagian ahli ibadah apabila ada orang lain yang membuatnya jengkel atau merendahkannya, maka terkadang mengeluarkan ucapan, “Allah tidak akan mengampunimu atau, “Kamu pasti masuk neraka” dan yang sejenisnya. Padahal ucapan-ucapan tersebut dimurkai Allah, yang justru dapat menjerumuskannya ke dalam neraka.

3. Sombong dengan Keturunan (Nasab)

Barangsiapa yang mendapati kesombongan dalam hati karena nasabnya, maka hendaknya ia segera mengobati hatinya itu.

Jika seseorang akan mencari nasabnya, maka perhatikan firman Allah I berikut ini,

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).” (QS. 32:7-8)

Inilah nasab manusia yang sebenarnya, kakeknya yang terjauh adalah tanah, dan nasabnya yang terdekat adalah nuthfah alias air mani. Jika demikian keadaannya, maka tak selayaknya seseorang sombong dan merasa tinggi dengan nasabnya.

4. Sombong dengan Kecantikan/Ketampanan

Kesombongan seperti ini banyak terjadi di kalangan para wanita, yaitu dengan menyebut-nyebut kekurangan orang lain, menggunjing dan membicarakan aib sesama.

Seharusnya orang yang sombong dengan kecantikannya ini banyak menengok ke dalam hatinya. Untuk apa anggota tubuh yang indah, namun hati dan perangai buruk, padahal tubuh secantik apa pun pasti akan binasa, hancur dan hilang tak tersisa.

Belum lagi kalau orang mau merenungi, bahwa selagi masih hidup, maka mungkin saja Allah berkehendak untuk mengubah kecantikan atau ketampanannya, misalnya dengan mengalami kecelakaan, sakit kulit, kebakaran dan lain sebagainya, yang dapat menjadikan rupa yang cantik menjadi buruk. Maka dengan kesadaran seperti ini, insya Allah rasa sombong yang ada dalam hati akan terkikis dan bahkan tercabut hingga ke akar-akarnya.

5. Sombong dengan Harta

Yaitu dengan memandang rendah orang fakir dan bersikap congkak terhadap mereka. Ini disebabkan harta yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan yang banyak, tanah dan bangunan, kendaraan mewah, perhiasan dan lain sebagainya. Kesombongan karena harta termasuk kesombongan karena faktor luar, dalam arti bukan merupakan potensi pribadi orang yang bersangkutan. Berbeda dengan ‘ilmu, amal, kecantikan atau nasab, sehingga apabila harta itu hilang, maka ia akan menjadi hina sehina-hinanya.

6. Sombong dengan Kekuatan dan Kegagahan

Orang yang mendapatkan karunia seperti ini hendaknya menyadari, bahwa kekuatan adalah milik Allah seluruhnya. Hendaknya selalu ingat, bahwa dengan sedikit sakit saja akan membuat badan tidak enak, istirahat tidak tenang. Kalau Allah menghendaki, seekor nyamuk pun dapat membuat seseorang sakit dan bahkan hingga menemui ajalnya.

Orang yang mau memikirkan ini semua, yaitu sakit dan kematian yang bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja, maka sudah sepantasnya tidak angkuh dan takabur dengan kekuatan dan kesehatan badannya.

7. Sombong dengan Banyaknya Keluarga, Kerabat atau Pengikut.

Kesombongan jenis ini juga merupakan kesombongan yang disebabkan faktor luar, bukan karena kelebihan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Dan setiap orang yang sombong karena sesuatu yang bukan dari kelebihan dan keunggulan dirinya sendiri, maka dia adalah sebodoh-bodoh manusia. Bagai-mana mungkin ia sombong dengan sesuatu yang bukan merupakan kelebih-an dirinya?

PENGARUH KESOMBONGAN

Kesombongan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan, dan pengaruh-pengaruh tersebut tampak dalam gerak-gerik anggota badan, cara berjalan, berdiri, duduk, berbicara dan diamnya seseorang.

Di antara pengaruh-pengaruh yang tampak dari sikap kesombongan adalah:

1. Orang yang sombong kalau toh mau berjalan bersama-sama orang lain, maka ia selalu minta paling depan dan semua orang harus ada di belakangnya. Konon Abdur Rahman bin ‘Auf y, kalau sedang berjalan bersama para pembantunya, maka tidak ketahuan ada disebelah mana, ia tidak pernah menonjolkan diri harus berada paling depan supaya semua orang melihatnya.

2. Orang sombong jika berada di suatu majlis, biasanya minta diistimewakan, diperlakukan lain daripada yang lain. Kemudian ia akan sangat senang kalau semua orang mendengarkan yang ia katakan dan sangat benci kalau ada orang lain mengalihkan pembicaraan kepada selainnya. Maunya semua orang harus membenarkan dan menerima apa yang ia katakan.

3. Termasuk pengaruh sifat sombong adalah memalingkan muka dari sesama muslim, atau melihat dengan pandangan sinis dan merendahkan.

4. Kesombongan juga berpengaruh bagi seseorang dalam ucapan, gaya bicara dan nada intonasinya. Bahkan terkadang mencerminkan ketidaksopanan, misalnya seorang murid atau mahasiswa menghardik gurunya, karena ia merasa anak seorang pejabat atau tokoh.

5. Kesombongan juga akan mempengaruhi gaya jalan seseorang, misalnya sambil membusungkan dadanya, atau berjalan dengan dibuat-buat agar menarik perhatian orang lain. Allah I telah berfirman,
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. 17:37)

6. Kesombongan juga berpengaruh di dalam kehidupan rumah tangga. Biasanya orang yang dalam hatinya ada kesombongan akan enggan mengerjakan pekerjaan rumah, walau hanya sepele. Hal ini berbeda dengan sikap tawadhu’ yang diajarkan oleh Rasulullah r. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, bahwa Rasul Allah I biasa membantu istri beliau.

7. Merupakan pengaruh kesombongan juga, bahwasanya ia membuat seseorang enggan membawakan barang atau sesuatu ke rumahnya, meskipun bukan hal yang berat, misalnya saja barang belanjaan. Ali berkata, “Seseorang tidak akan berkurang kesempurnaannya dengan membawakan sesuatu untuk keluarganya.”

8. Kesombongan juga mempengaruhi gaya berpakaian seseorang, yaitu ia berpakaian dengan tujuan pamer dan supaya terkenal, atau dengan pakaian yang melanggar ketentuan syar’i, seperti isbal (memanjangkan celana di bawah mata kaki) bagi laki-laki.

9. Orang yang sombong biasanya sangat senang apabila ia datang, lalu orang-orang berdiri untuk menghormatnya. Padahal para shahabat apabila datang Rasulullah r kepada mereka, maka mereka tidak berdiri untuk beliau, hal ini dikarenakan mereka tahu, bahwa Rasulullah r membenci hal itu.

10. Orang yang dalam hatinya ada kesombongan tidak akan mau mengunjungi orang lain, tidak mau mengucapkan salam lebih dahulu, minta supaya diprioritaskan dan tidak mau mendahulukan kepentingan orang lain. 11. Kesombongan juga akan mengakibatkan seseorang tidak memandang adanya hak orang lain pada dirinya. Sementara itu ia beranggapan, bahwa ia memiliki hak yang banyak atas selainnya.
readmore »»  

Sabtu, 11 Mei 2013

Sujud Sahwi

Sujud sahwi ialah sujud yang dilakukan orang yang shalat sebanyak dua kali untuk menutup kekurangan yang terjadi dalam pelak-sanaan shalat yang disebabkan karena lupa.

Sebab-sebab sujud sahwi ada 3 (tiga) :
Ø  Karena kelebihan
Ø  karena kurang
Ø  karena ragu-ragu
Keterangannya sebagai berikut :
Sujud Sahwi Karena Kelebihan
Barangsiapa kelupaan dalam shalatnya kemudian dia menambah ruku', atau sujud, maka dia harus sujud dua kali sesudah menyelesaikan shalatnya.
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Mas'ud t, Bahwasanya Nabi  r shalat Zhuhur lima rakaat, kemudian beliau ditanya, “Apakah shalat Zhuhur ditambah rakaatnya?”, beliau balik bertanya: “Apa itu?” Para sahabat menjelaskan, “Anda shalat lima rakaat.” Kemudian beliau pun sujud dua kali setelah salam. (Bukhari Muslim/Muttafaqun ‘Alaihi)
Salam sebelum shalat selesai berarti termasuk kelebihan dalam shalat, sebab ia telah menambah salam di pertengahan pelaksanaan shalat. Barangsiapa mengalami hal itu dalam keadaan lupa, lalu dia ingat beberapa saat setelahnya, maka dia harus menyempurnakan shalatnya kemudian salam, setelah itu dia sujud sahwi, kemudian salam lagi.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah t “Nabi r pernah  shalat Zhuhur atau ‘Ashar bersama para sahabat. Beliau salam setelah shalat dua rakaat, Nabi pun berdiri untuk bersandar pada sebuah kayu, sepertinya beliau marah….kemudian orang-orang yang bergegas keluar dari pintu masjid berkata: “Shalat telah diqashar (dikurangi)?'….dan dalam jama’ah terdapat salah seorang yang kedua tangannya panjang yang dikenal dengan “Dzul Yadain” maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah anda lupa atau memang shalat telah diqashar?.' Nabi r berkata, 'Aku tidak lupa dan shalat pun tidak diqashar.' (lalu ia kembali berkata: “Kalau begitu Anda memang lupa wahai Rasulullah”) Nabi r bertanya kepada para sahabat, yang lain “Benarkah apa yang dikatakan Dzul Yadain”?'. Mereka pun mengatakan: “Benar”, Maka majulah Nabi r, selanjutnya beliau shalat untuk melengkapi raka'at yang tertinggal (terlupa) tadi, kemudian takbir dan sujud seperti sujudnya (dalam shalat) atau lebih panjang, kemudian mengangkat kepalanya lalu bertakbir, kemudian bertakbir dan sujud seperti sujudnya (dalam shalat) atau lebih panjang kemudian mengangkat kepalanya dan bertakbir ….kemudian beliau r melakukan salam". (HR. Bukhari Muslim/Muttafaq 'alaihi)
Dari hadits ini juga menunjukkan bahwa disunnahkannya ketika sujud sahwi untuk bertakbir pada tiap-tiap sujud dan tiap kali bangkit dari padanya.
Sujud Sahwi Karena Kekurangan
Barangsiapa kelupaan dalam shalatnya, kemudian ia meninggalkan salah satu sunnah muakkadah (yaitu yang termasuk katagori hal-hal wajib dalam shalat), maka ia harus sujud sahwi sebelum salam, seperti misalnya dia kelupaan melakukan tasyahhud awal dan dia tidak ingat sama sekali, atau dia ingat setelah berdiri tegak dengan sempurna, maka dia tidak perlu duduk kembali, cukup baginya sujud sahwi sebelum salam. Dalilnya ialah hadits dari Abdullah bin Buhainah t, ia berkata :
“Bahwasanya Rasulullah r shalat Zhuhur bersama mereka (para shahabat ), beliau langsung berdiri setelah dua rakaat pertama dan tidak duduk (Tasyahhud awal). Para jama'ah pun tetap mengikuti beliau sampai beliau selesai menyempurnakan shalat, orang-orang pun menunggu salam beliau, akan tetapi beliau malah bertakbir padahal beliau dalam keadaan duduk (tasyahhud akhir), kemudian beliau sujud dua kali sebelum salam, lalu salam." (HR. Bukhari Muslim/Muttafaq 'alaih)
Sujud Sahwi Karena Ragu-ragu
Sujud sahwi karena ragu-ragu yaitu ragu-ragu antara dua hal, yang mana yang terjadi, kelebihan atau kekurangan. Umpamanya seseorang ragu apakah dia sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat.
Keraguan ini ada 2 (dua) macam:
1. Seseorang lebih cenderung kepada satu hal, baik kelebihan atau kurang, maka dia harus menurutkan mengambil sikap kepada yang lebih ia yakini, kemudian dia melakukan sujud sahwi setelah salam.
Diriwayat-kan dari Abdullah , bahwasanya Nabi r bersabda kepada Ibnu Mas'ud  t “Apabila salah seorang dari kamu ada yang ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah lebih memilih kepada yang paling mendekati kebenaran, kemudian menyempurnakan shalatnya, lalu melakukan salam, selanjutnya sujud dua kali'." (HR. Bukhari Muslim/Muttafaq 'alaih)
2. Ragu-ragu antara dua hal, dan tidak condong pada salah satunya, tidak kepada kelebihan dalam pelaksanaan shalat dan tidak pula pada kekurangan. Maka dia harus mengambil sikap kepada hal yang sudah pasti akan kebenarannya, yaitu jumlah rakaat yang lebih sedikit. Kemudian menutupi kekurangan tersebut, lalu sujud dua kali sebelum salam.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi r dari Abu Sa'id Al-Khudri  t  “Apabila salah seorang diantara kamu ragu-ragu  dalam  shalatnya,   dia  tidak  tahu telah berapa rakaat yang sudah ia kerjakan, tigakah atau empatkah? Maka hendaknya ia meninggalkan keraguan itu dan mengambil apa yang ia yakini (yang paling sedikit), kemudian ia sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim).
Kesimpulannya : bahwa sujud sahwi itu adakalanya dilakukan sebelum salam dan adakalanya dilakukan sesudah salam.
Ø  Adapun sujud sahwi yang dilakukan setelah salam ialah pada dua kondisi : Apabila karena kelebihan (dalam pelaksanaan shalat) atau apabila ragu antara dua kemungkinan, tapi ada kecondongan pada salah satunya.
Ø  Sedangkan sujud sahwi yang dilakukan sebelum salam, juga pada dua kondisi : Apabila dikarenakan kurang (dalam pelaksanaan shalat). atau apabila ragu antara dua kemung-kinan dan tidak merasa lebih berat kepada salah satunya.
Do’a sujud sahwi
Tidak ada satu hadits pun atau riwayat shahih yang menentukan do’a yang harus dibaca dalam sujud sahwi, dengan demikian hendaklah kita kembali kepada keumuman hadits yakni membaca do’a-do’a sujud seperti biasanya karena kedudukan sujud sahwi itu sama dengan sujud-sujud lainnya, diantaranya sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi r membaca dalam ruku’nya dan sujudnya “Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayat yang lain berkata Hudzaifah t “saya pernah shalat bersama Nabi r dalam sujudnya beliau r membaca “Subhana Rabbiyal A’la” (HR. Muslim)
Hadits-hadits ini tidak membedakan antara do’a sujud shalat dengan do’a sujud sahwi. Namun bagi yang menganggap bahwa riwayat-riwayat tersebut khusus untuk sujud shalat (bukan sujud sahwi) maka hendaknya ia tidak membaca apa-apa dalam sujud sahwi, hanya tinggal diam saja. –Wallahu A’lam-

Semoga bermanfaat
readmore »»  

Pakaian Wanita Dalam Shalat

Pakaian wanita saat mengerjakan shalat memiliki aturan tersendiri. Tiap wanita hendaknya memperhatikan pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski shalatnya dilakukan sendirian.

Di masa jahiliyah, kata Ibnu ‘Abbas, wanita biasa thawaf di Ka`bah dalam keadaan tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Mereka thawaf seraya bersyair:
Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya atau pun seluruhnya
Maka apa yang nampak darinya tidaklah daku halalkan

Maka turunlah ayat :
“Wahai anak Adam kenakanlah zinah1 kalian setiap kali menuju masjid”. ( Al-A`raf: 31) [Shahih, HR. Muslim no. 3028]

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Dulunya orang-orang jahiliyah thawaf di Ka`bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya, hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliyah ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat sebagaimana firman-Nya:
“Wahai anak Adam kenakanlah zinah kalian setiap kali shalat di masjid”. (Al-A`raf: 31)

bersabda:rNabi
“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka`bah”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1622 dan Muslim no. 1347) [Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 18/162-163]

Hadits di atas selain disebutkan Al-Imam Al-Bukhari t pada nomor di atas, pada kitab Al-Haj bab “Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji”, disinggung pula oleh beliau dalam kitab Ash-Shalah, bab “Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian.” Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam syarahnya (penjelasan) terhadap hadits di atas dalam kitab Ash-Shalah berkata: “Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari adalah bila dalam thawaf dilarang telanjang maka pelarangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi karena apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf bahkan dalam shalat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat shalat”. (Fathul Bari, 1/582)

Al-Imam Asy-Syaukani t berkata dalam tafsirnya: “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah ketika datang ke masjid untuk melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala keadaan sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih.” (Fathul Qadir, 2/200).

Ada perbedaan antara batasan aurat yang harus ditutup di dalam shalat dengan aurat yang harus ditutup di hadapan seseorang yang tidak halal untuk melihatnya, sebagaimana ada perbedaan yang jelas antara aurat laki-laki di dalam shalat dengan aurat wanita.

Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “Mengenakan pakaian di dalam shalat adalah dalam rangka menunaikan hak Allah maka tidak boleh seseorang shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun ia berada sendirian di malam hari. Maka dengan ini diketahuilah bahwa mengenakan pakaian di dalam shalat bukan karena ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia, karena ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan untuk berhijab dari pandangan manusia dengan pakaian yang dikenakan ketika shalat”. (Majmu` Fatawa, 22/113-114)

Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya yang penting menutup aurat, tidak peduli pakaian itu terkena najis, bau dan kotor misalnya. Namun perlu memperhatikan sisi keindahan dan kebersihan, dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaianIkarena Allah sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana dalam ayat di atas. Sehingga sepantasnya seorang hamba shalat dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah karena dia akan ber-munajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya. Demikian secara makna dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah t dalam Al-Ikhtiyarat hal. 43, sebagaimana dinukil dalam Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni‘, 2/145.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t membawakan beberapa syarat pakaian yang dikenakan dalam shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut:
1. Tidak menampakkan kulit tubuh yang ada di balik pakaian
2. Bersih dari najis
3. Bukan pakaian yang haram untuk dikenakan seperti sutera bagi laki-laki, atau pakaian yang melampaui/ melebihi mata kaki bagi laki-laki (isbal).
4. Pakaian tersebut tidak membuat bahaya bagi pemakainya. (Lihat pembahasan dan dalil-dalil masalah ini dalam Asy-Syarhul Mumti‘, 2/148-151)

Bagian Tubuh yang Harus Ditutup

Berkata Al-Khaththabi t: “Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya. Al-Imam Asy-Syafi`i dan Al-Auza`i berkata: ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajahnya dan dua telapak tangannya.’ Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbas dan ‘Atha. Lain lagi yang dikatakan Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyam: ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat sampaipun kukunya.’ Al-Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini, beliau menyatakan: ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatupun dari anggota tubuhnya tidak terkecuali kukunya’.” (Ma`alimus Sunan, 2/343)2.

Sebenarnya dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang jelas yang bisa menjadi pegangan, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t. (Asy-Syarhul Mumti`, 2/156). Oleh karena itu Ibnu Taimiyyah t berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa nampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan dan telapak kaki. (Majmu` Fatawa, 22/109-120)

Dengan demikian ketika seorang wanita shalat sendirian atau di hadapan sesama wanita atau di hadapan mahramnya dibolehkan baginya untuk membuka wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kakinya. (Jami’ Ahkamin Nisa, 1/333-334). Walaupun yang lebih utama bila ia menutup dua telapak kakinya. (Majmu‘ Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).

Dan bila ada laki-laki yang bukan mahramnya maka ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah. (Asy-Syarhul Mumti‘, 2/157). (bagi yang berpendapat wajibnya menutup wajah, red)

Pakaian Wanita di Dalam Shalat

Di sekitar kita banyak kita jumpai wanita shalat dengan mengenakan mukena/rukuh yang tipis transparan sehingga terlihat rambut panjangnya tergerai di balik mukena. Belum lagi pakaian yang dikenakan di balik mukena, terlihat tipis, tanpa lengan, pendek dan ketat menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaian seperti ini jelas tidak bisa dikatakan menutup aurat. Bila ada yang berdalih, “Saya mengenakan pakaian shalat yang seperti itu hanya di dalam rumah, sendirian di dalam kamar dan lampu saya padamkan!” Maka kita katakan pakaian shalat seperti itu (mukena ditambah pakaian minim di baliknya) tidak boleh dikenakan walaupun ketika shalat sendirian, tanpa ada seorang pun yang melihat, karena pakaian demikian tidak mencukupi untuk menutup aurat sementara wanita ketika shalat tidak boleh terlihat bagian tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. (Lihat ucapan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu` Fatawa sebagaimana dinukilkan di atas).

Terlebih lagi pelarangannya bahkan pengharamannya bila pakaian seperti ini dipakai keluar rumah untuk shalat di masjid atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram.

Bila demikian, bagaimana sebenarnya pakaian yang boleh dikenakan oleh wanita di dalam shalatnya?
Permasalahan pakaian wanita di dalam shalat ini datang penyebutannya dalam beberapa hadits yang marfu‘ namun kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama, seperti hadits Aisyah x:
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (baligh) kecuali bila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya)”. (HR. Abu Dawud no. 641 dan selainnya)
Hadits ini kata Al-Hafizh Ibnu Hajar tdalam At-Talkhisul Habir (2/460) dianggap cacat oleh Ad-Daraquthni karena mauquf-nya (hadits yang berhenti hanya sampai shahabat)), sedangkan Al-Hakim menganggapnya mursal (hadits yang terputus antara tabi’in dan Rasulullah).

Ummu Salamah x : “Apakah wanita boleh shalat denganrpernah bertanya kepada Rasulullah mengenakan dira`3 dan kerudung tanpa izar4?”

menjawab: rRasulullah
“(Boleh), apabila dira`nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya”. (HR. Abu Dawud no. 640)

Hadits Ummu Salamah ini tidak shahih sanadnya baik secara marfu’ maupun mauquf karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, sementara dia rawi yang majhul (tidak dikenal). Demikian diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 161.

Walaupun demikian, ada riwayat-riwayat yang shahih dari para shahabat dalam pemasalahan ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.

Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani t meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia shalat dengan mengenakan dira‘rberkata: “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi dan kerudung.” (Al-Mushannaf, 3/128)5.

Ubaidullah Al-Khaulani, anak asuh Maimunah x mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira` dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf)6

Masih ada atsar lain dalam permasalahan ini yang kesemuanya menunjukkan shalatnya wanita dengan mengenakan dira‘ dan kerudung adalah perkara yang biasa dan dikenal di kalangan para shahabat, dan ini merupakan pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.

Bila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat maka ia menambahkan izar atau jilbab pada dira‘ dan kerudungnya. Dan ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata Asy-Syaikh Al-Albani t. Dengan dalil riwayat dari Umar ibnul Khaththab z, ia berkata: “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung dan izar. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang shahih, lihat Tamamul Minnah, hal. 162).

Jumhur ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira‘ dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hal. 100).

Ibnu Qudamah t mengatakan: “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira` yaitu pakaian yang sama dengan gamis hanya saja dira` ini lebar dan panjang menutupi sampai kedua telapak kaki, kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira`. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Ubaidah As-Salmani dan ‘Atha. Dan ini merupakan pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i t, beliau berkata: “Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira` dan kerudung, bila menambahkan pakaian lain maka itu lebih baik dan lebih menutup.” (Al-Mughni, 1/351)

Ibnu Taimiyyah t berkata: “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian, dira`, kerudung dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya atau kain sarung di bawah dira` atau sirwal (celana panjang yang sangat lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung. Ibnu ‘Abbas c berkata: ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan milhafah.’ ‘Aisyah x pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar dan dira`, ia memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata: ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian bila ia mendapatkannya yaitu kerudung, izar dan dira`.’ (Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 4/322)

Bolehkah Shalat dengan Satu Pakaian?
Di dalam shalat, wanita dituntunkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali bagian yang boleh terlihat, walaupun ia hanya mengenakan satu pakaian yang menutupi kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki dan seluruh tubuhnya kecuali wajah. Seandainya ia berselimut dengan satu kain sehingga seluruh tubuhnya tertutupi kecuali muka, dua telapak tangan dan telapak kakinya maka ini mencukupi baginya menurut pendapat yang mengatakan dua telapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk bagian tubuh yang wajib ditutup. (Asy-Syarhul Mumti‘, 2/165)

Berkata Ikrimah: “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/ kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih Al-Bukhari, kitab Ash-Shalah bab Berapa pakaian yang boleh dikenakan wanita ketika shalat).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t menyatakan: “Ibnul Mundzir setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira` dan kerudung, beliau berkata: ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/ lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/ kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’ Ibnul Mundzir juga berkata: ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ bahwasanya ia berkata: ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan izar’, demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab7.” (Fathul Bari, 1/602-603)

Mujahid dan ‘Atha pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, lalu apa yang harus dilakukannya? Mereka menjawab: “Ia berselimut dengannya.” Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)

Demikian apa yang dapat kami nukilkan dalam permasalahan ini untuk pembaca. Semoga memberi manfaat .

Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawab.
readmore »»  

Senin, 06 Mei 2013

The Power of Takwa

Agama telah mewajibkan kepada pemeluknya yang beriman untuk berpuasa di bulan Ramadlan. Puasa ini pada dasarnya telah diwajibkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw. Begitu besar efeknya terhadap tubuh kita baik jiwa maupun raga untuk menjadi insane kamil. Seseorang akan menjadi sehat dengan berpuasa karena dengan mengosongkan isi lambung selama sehari didukung dengan pengendalian otak saat lapar itu berarti memberi kesempatan mesin penggiling makanan yang kita miliki ini untuk beristirahat. Namun, bukan hal itu yang akan saya bahas dalam tulisan singkat ini akan tetapi saya lebih menitik beratkan pada aspek emosional dan spiritual sebagai kesempurnaan holistic.



Aspek spiritual yang saya maksud di sini adalah keimanan dan ketakwaan. Ada sebuah makna yang ditekankan dari aktifitas fisik tersebut, yakni bahwa aktifitas fisik itu senantiasa melibatkan fungsi kerja otak yang akan meningkatkan pengaruh aspek emosional dan spiritual. Semua aktifitas dikendalikan oleh otak berupa intelekttual, emosional, spiritual, maupun fisikal. Ketika satu titik dapat dikendalikan, maka hal itu akan mempengaruhi fungsi otak yang lain. Begitulah ketika nafsu makan kita dikendalikan, maka hawa nafsu yang lain pun akan mudah diatur dan ditata. Sehingga, nutrisi-nutrisi otak pun dapat terdistribusi ke titik-titik yang lain secara ilmiah dimana mampu meningkatkan aktifitas berfikir, bernalar, dan beraktifitas fisik maupun emosi.



Selain itu, ada aktifitas-aktifitas dimana hal itu dapat bermanfaat untuk menata dan mengatur fungsi kerja otak agar senantasa seimbang antara intelektual, emosional, dan spiritual. Terjadi kesinambungan dan sinergitas antara ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Hal tersebut didapat melalui cara konsentrasi atau bahkan meditasi. Dengan pemusatan pikiran otak akan tenang dan selalu bersiap siaga menghadapi segala kondisi yang akan menghadang. Konsentrasi pada suatu hal dapat mengatur segala banyak point aktifitas di otak kita. Karenanya, ketika seseorang telah melakukan konsentrasi maka ia telah berada kondisi zero. Sebuah kondisi yang tenang yang dapat dimulai dengan aktifitas apapun. Sebuah keadaan dimana tidak terjadi keruwetan dan kemacetan dalam otak kita untuk beraktifitas, sekaligus sebagai masa istirahat bagi otak kita dari aktitifitas fisik maupun psikis setiap hari.



Itulah yang saya maksudkan ketenangan sebagai ketakwaan. Yang artinya adalah tingkat keimanan atau kepercayaan kepada Allah yang paling mulia. Itulah keadaan yang kondisi jiwa senantiasa tenang dengan dalam konsentrasi kepasrahan kepada Tuhan. Demikianlah yang disebut sebagai terjadi sinergitas antara aktifitas di pusat kendali manusia, tidak terjadi keruwetan dan kemacetan dalam penghantaran listrik. Orang yang bertakwa adalah orang yang selalu tenang dengan keadaan apapun, tak pernah ditempa rasa takut dengan sesuatu pun karena hanya Allah yang selayaknya ditakuti. Tak pernah sedih dengan segala sesuatu yang menyakitkan karena sadar bahwa segala sesuatu merupakan kehendak dan kekuasaan Allah, Dialah pemilik alam semesta ini.



Sebuah proses yang dapat ditempuh untuk mencapai derajat takwa bisa melalui puasa sebagaimana saya bahas dalam pembahasan di atas. Oleh karenanya dalam agama menganjurkan untuk senantiasa ingat kepada Allah Swt, baik melalui lafadz dzikir kepada-Nya, sholat dengan khusyu’, puasa dengan ikhlas, maupun bermuamalah yang adil. Derajat ketenangan yang paling mulia adalah tatkala mengingat-Nya.



Ada feedback eksternal yang akan mendekati kita tatkala kita tercebur dalam keadaan takwa, antara lain : dilepaskan dari kesusahan hidup, diberikan limpahan rezki yang barakah, dibukakan pintu-pintu peluang kebaikan, dihindarkan dari tipu daya musuh, dan diberikan ilmu yang bermanfaat.
readmore »»  

Kisah Tukang Sepatu

Dari Muhammad bin Al-Muhandits diriwayatkan bahwa ia berkata: "Ada sebuah tiang di Masjid Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang biasa kugunakan untuk shalat dan belajar di malam hari. Pada waktu itu penduduk Madinah mengalami paceklik. Maka merekapun keluar menjalankan shalat Istisqa'. Namun hujan tidak juga turun. Pada malam harinya, seperti biasa aku shalat Isya' di Masjid Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu aku datang mendatangi tiang itu dan menyandarkan tubuhku di sana (istirahat). Tiba-tiba datang seorang lelaki berkulit hitam kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil lagi. Lelaki itu kemudian mendekati tiang di depanku, sementara (tanpa dia ketahui) aku berada di belakangnya.


Kemudian dia shalat dua raka'at lalu duduk seraya berdo'a :"Wahai Rabb-ku. Para penduduk Madinah kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak juga mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas nama-Mu, turunkanlah hujan." Ibnul Muhandits bergumam : "jangan-jangan ini orang gila."

Ia meneruskan: "Tatkala lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suara guntur, diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku berkeinginan kembali ke rumah. Ketika ia mendengar suara hujan, ia segera memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah kudengar yang semacam itu sebelumnya." Perawi melanjutkan : "Kemudian lelaki itu berkata : "Siapa saya, dan apa kedudukan saya, sehingga doa saya terkabul. Akan tetapi aku tetap berlindung denagn memuji diri-Mu dan berlindung dengan pertolongan-Mu." Lalu perawi melanjutkan: "kemudian lelaki itu mengenakan kain yang digunakan untuk menyelimuti tubuhnya, lalu kain yang bergantung di punggungnyaia turunkan ke kakinya. Setelah itu ia shalat. Ia terus menjalankan shalatnya, sampai ia merasa akan datang Shubuh. Setelah itu ia melakukan shalat Witir dan shalat sunnah Fajar dua raka'at. Kemudian dikumandangkan iqamat Shubuh, ia turut shalat berjama'ah bersama orang banyak. Akupun turut shalat bersamanya . Setelah imam mengucapkan salam, ia (lelaki hitam) segera bangkit dan keluar masjid. Akupun mengikutinya dari belakang, hingga pintu masjid. Lalu dia mengangkat pakaiannya dan berjalan di air yang tergenang (karena hujan). Akupun ikut mengangkat pakaianku dan berjalan di genangan air. Namun kemudian aku kehilangan jejak.

Pada malam selanjutnya, aku kembali shalat Isya di Masjid Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu aku mendatangi tiang tersebut dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempat biasa. Ia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan shalat. Ia terus melakukan shalat, sampai ia khawatir kalau datang waktu Shubuh, baru ia melakukan Witir dan dua raka'at sunnah Fajar. Setelah itu iqamat berkumandang. Ia langsung shalat berjama'ah, akupun turut bersamanya. Ketika Imam telah mengucapkan salam, ia keluar. Aku juga keluar mengikutinya. Ia berjalan dengan cepat. Akupun mengikutinya hingga sampai ke salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Akupun kembali ke masjid.

Setelah terbit matahari, dan aku telah menunaikan shalat (Dhuha). Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata ia tukang sepatu. Ketika ia melihatku, ia segera mengenaliku. Ia berkata : "Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu ? Anda ingin saya buatkan sepatu ?" Aku segera duduk dan berkata : "Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam pertama itu ?" Rona wajahnya berubah menghitam dan berteriak sambil berkata : "Wahai ibnul Muhandits, apa urusanmu dengan kejadian itu ?" Perawi melanjutkan: "Lelaki itu marah dan akupun segera meninggalkannya." Aku mengatakan: "Sekarang juga aku keluar dari tempat ini." 
 
 
Pada malam ketiga, aku kembali shalat Isya di akhir waktu di Masjid Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kemudian menuju tempatku untuk berbaring. Namun lelaki itu tak kunjung datang. Ibnul Muhandits bergumam: "Inna lillahi, apa yang telah aku perbuat ?" Pagi harinya, aku duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka. Dan ternyata rumah itupun sudah tidak berpenghuni lagi. Pemiliki rumah yang ditinggali lelaki itu bertanya kepadaku: "Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara anda dengan dirinya kemarin ?" Aku balik bertanya: "Apakah gerangan yang terjadi dengannya ?" Orang-orang di situ berkata :"Ketika anda keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian ia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu kami tidak tahu lagi ke mana lagi dia pergi."

Muhammad bin Al-Muhandits berkata: "Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya."

Catatan: Dalam buku terjemahannya tertulis Muhammad bin Al-Mukandir, namun menurut seorang sumber yang terpercaya seharusnya Muhammad bin Al-Muhandits.
readmore »»  

Minggu, 05 Mei 2013

Tuntunan Para Rasul dalam Memelihara Kesucian Jasmani

Seorang Muslim dengan pengakuan-nya sebagai pemeluk agama Islam mestinya segala segi kehidupannya terikat oleh tuntunan kitab Rabbnya dan sunnah Rasulnya. Dia tidak boleh melampaui tuntunan yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Dan tidak patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak pula bagi perempuan yang mu'minah, apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dari urusan mereka." (Al-Ahzab: 36)

"Dan apa yang telah dibawa oleh Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkan-lah." (Al-Hasyr: 7)

Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Tidak (sempurna) iman seorang di antara kamu sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa." (Hadits Shahih sebagaimana yang dikatakan An-Nawawi dalam Al-Arba'in)

Maka dari itu, seorang Muslim wajib melaksanakan tuntunan fithroh yang telah digariskan Allah melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasalam :

"Lima hal termasuk bagian fitroh, yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), memotong kuku, mencabuti rambut ketiak dan memotong kumis." (HR. Al-Bukhari Muslim)

Sabdanya pula: "Sepuluh hal termasuk bagian fitroh: Memotong kumis, membiarkan jenggot (panjang), siwak, istinsyaq, memotong kuku, mencuci sela lipatan jari, mencabuti rambut ketiak, mencukur rambut di sekitar kemaluan, dan istinja", seorang perowi berkata: "Saya lupa yang kese-puluh, mungkin kumur-kumur". (HR. Muslim)

Dari kedua hadits itu, kita bisa menjabarkan sebagai berikut:
  1. Memotong kumis
Banyak hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam yang memerintahkan agar setiap muslim memotong kumis yang mengulur pada bibirnya.

"Dan potonglah kumis-kumis itu." (HR. Bukhari Muslim)

Ada beberapa riwayat lain yang kesemuanya menggunakan fi'il amr (perintah) dengan lafazh yang berbeda namun maknanya sama.
Dalam hadits shahih Riwayat At-Tirmidzi disebutkan, artinya: "Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya, maka dia bukan termasuk dari (golongan) kami."

Ibnu Hazm Radhiallaahu anhu berkata: "Ada ijma' yang menetapkan bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot (panjang) adalah fardhu." (Tahrim Halq AlIiha: 7)
  1. Membiarkan jenggot panjang
Jenggot adalah rambut yagn tumbuh di kedua pipi dan dagu (Tahrim Halq AlIiha: 5)
Banyak hadits yang mewajibkan seorang muslim membiarkan jenggot-nya panjang tanpa sedikitpun memo-tongnya apalagi mencukurnya sampai bersih, di antaranyaRasul Shallallahu alaihi wasalam bersabda:

"Maka biarkanlah jenggot-jenggot itu." (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan, artinya: "Kami diperintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan jenggot." (HR. Muslim)
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Mencukur jenggot adalah haram."
Al-Qurthubi berkata: "Tidak boleh mencukur jenggot, mencabuti dan juga memotongnya."
Ibnu Hazm meriwayatkan ijma bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot adalah fardhu. (Tahrim Halq AlIiha, Abdurrahman Ala'shimi Al Hambali: 7)

Jenggot adalah perhiasan laki-laki yang merupakan lambang kesempurnaan. Ini membedakan laki-laki dan perempuan. Mencabutinya di awal pertumbuhan merupakan kemungkaran-yang besar. An-Nawawi dan Al Ghazali berkata: "Umar bin Khaththab, Ibnu Laila, Umar bin Abdul Aziz menolak kesaksian orang yang mencukur atau mencabuti jenggotnya."

Tapi jika kita melihat umat Islam zaman sekarang, mereka cenderung melakukan sebaliknya. Mereka mencukur jenggot dan membiarkan kumis menjulur ke bibirnya. Sungguh mengherankan.
  1. Khitan
Khitan laki-laki adalah memotong semua qulfah (kulit) yang menutupi ujung dzakar, sedangkan wanita adalah memotong bagian kulit yang menonjol (ke atas) farjinya saja.

Khitan merupakan sunnah Nabi Ibrahim. Nabi Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah menginjak usia 80 tahun dan beliau berkhitan dengan kapak." (HR Al-Bukhari)

Berkhitan boleh setelah baligh. Ibnu Abbas ditanya: "Seusia siapa engkau tatkala Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam meninggal dunia?" Ibnu Abas berkata: "Saya pada waktu itu sudah dikhitan, dan orang-orang (jaman itu) tidak mengkhitan laki-laki hingga dia baligh." (HR. Al-Bukhari)

Di antara fungsi khitan bagi laki-laki adalah membuang tempat bersarangnya kotoran dan najis. Sedang bagi wanita adalah (di antaranya) untuk menstabilkan rangsangan syahwatnya. Jika dikhitan terlalu dalam bisa membuat dia tidak memiliki hasrat sama sekali, sebaliknya, jika kulit yang menonjol ke atas vaginannya (Klitoris) tidak dipotong bisa berbahaya, karena kalau tergesek atau tersentuh sesuatu dia cepat terangsang. Maka Rasul Shallallahu alaihi wasalam bersabda kepada tukang khitan wanita (Ummu A'Thiyyah), artinya: "Janganlah kau potong habis, karena (tidak dipotong habis) itu lebih menguntungkan bagi perempuan dan lebih disenangi suami." (HR. Abu Dawud)

Tidak di khitan bagi wanita merupakan salah satu pendorong dia menjadi lesbian, karena jika dia menggesekkan klitorisnya pada klitoris temannya, maka dia akan merasakan kenikmatan yang sangat. Maka dari itu Islam menyuruh agar menstabilkan syahwatnya dengan cara khitan. (Ahkamun Nisa': 13)
  1. Mencukur rambut yang ada di sekitar kemaluan
Istihdaad (memotong bulu yang ada di sekitar kemaluan) dianjurkan atas laki-laki dan perempuan, di kala rambut kemaluannya sudah panjang.
  1. Memotong kuku
Tidak pantas dan tidak layak bagi seorang muslim membiarkan kukunya panjang atau sengaja memeliharanya, karena yang biasa berkuku panjang adalah hewan. Apalagi kotoran dan kuman senang sekali bersarang di bawah kuku yang panjang.
  1. Mencabuti Bulu Ketiak
Sunnahnya dicabuti, tapi kalau tidak kuat (sakit), tidak apa menghilangkannya dengan cara lain, selama tidak ber-bahaya, baik di cukur, di bubuhi obat dll.

Nabi Shallallahu alaihi wasalam telah memberikan waktu empat puluh hari untuk jangka membiarkan kumis, rambut ketiak, dan rambut kemaluan tumbuh, tidak boleh membiarkannya lebih lama dari itu.

Anas Ibn Malik berkata: "Bagi kami diberi waktu dalam pemotongan kumis, kuku, pencabutan rambut ketiak dan pencukuran rambut kemaluan, agar kami tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam." (HR. Muslim)
  1. Menggosok gigi/siwak
Mengosok gigi sangatlah dianjurkan, selain untuk kebersihan dan kesehatan, bersiwak juga mempunyai nilai ibadah yang sangat diridhai Allah. Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Siwak itu mensuci-kan mulut dan (sumber) Keridhoan Ar-Rabb." (HR. Ahmad, An Nasai, Bukhari, secara ta'liq).

Setiap hendak shalat disunnahkan menggosok gigi (bersiwak). Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Seandainya saya tidak memberatkan umat saya, tentu saya menyuruh mereka bersiwak setiap hendak shalat." (HR. Bukhari Muslim)

Karena takut memberatkan, beliau tidak mewajibkannya, tapi hanya mensunnahkan saja, begitu juga setiap hendak wudhu, sebagaimana sabdanya, artinya: "Seandainya saya tidak membe-ratkan umat saya, tentu saya memerin-tahkan mereka bersiwak (pada setiap wudhu)." (HR. Ahmad, An-Nasai, Al-Bukhari Taliqon, dan di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Begitu juga ketika bangun tidur, Hudzaifah Radhiallaahu anhu berkata: "Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bilamana bangun malam, beliau menggosok giginya dengan siwak." (HR. Bukhari – Muslim)

Siwak dianjurkan pula pada setiap kesempatan, dikatakan kepada Aisyah x: "Dengan apa Nabi Shallallahu alaihi wasalam memulai bila beliau masuk rumahnya?" Aisyah berkata: "Dengan siwak" (HR. Muslim)

Begitu juga meskipun dalam keadaan shaum, Amir Ibn Rabi'ah, berkata: "Tidak terhitung saya melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersiwak dalam keadaan shaum." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi berkata: "Hadits ini Hasan").
  1. Beristinja
Beristinja (cebok) hukumnya wajib, bisa dengan air, batu atau benda lain yang dapat mensucikan, tapi air adalah yang paling utama Anas Ibn Malik berkata: "Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam masuk jamban, maka saya bersama anak seusia saya membawa wadah berisi air dan tongkat lalu beliau beristinja dengan air." (Muttafaq 'Alaih)
  1. Memasukan air ke dalam hidung(istinsyaq) kemudian menyemburkannya (istintsar)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam jika berwudhu beliau beristinsyaq kemudian beristintsar. (HR. Bukhari Muslim)

Beliau juga berkata, artinya: "Jika seorang berwudhu, hendaklah dia mema-sukkan air kedalam hidungnya, kemudian menyemburkannya." (Muttafaq 'Alaih)

Bahkan orang yang sedang shaum pun dianjurkan untuk istinsyaq, hanya saja dilarang berlebihan, Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Dan bermuballaghoh lah (berlebih-lebihanlah) dalam istinsyaq kecuali jika kamu shaum." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Maja, dll. Di sahihkan oleh Tirmidzi dan An-Nawawi)
  1. Kumur-kumur (madhmadhah)
Adalah memasukan air ke dalam mulut, lalu diputar-putar di dalam, kemudian disemburkan.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam jika berwudhu senantiasa kumur-kumur terlebih dahulu. (HR. Bukhari – Muslim)

Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Jika kamu berwudhu, maka kumur-kumurlah." (HR. Abu Dawud dll, Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari: Isnadnya Shahih)
  1. Mencuci lipatan (sela) jari-jari
Lipatan/sela jari-jari merupakan tempat yang bisa ditempati kotoran, oleh sebab itu dianjurkan untuk dibersihkan. Begitu juga lipatan-lipatan lainya seperti ketiak, selengkangan dll.
readmore »»