A. Metode
Halakah
1.
Pengertian Halakah
Halakah merupakan istilah yang berhubungan
dengan dunia pendidikan khususnya pendidikan atau pengajaran islam (tarbiyah
islamiyah). Istilah halakah biasanya digunakan untuk menggambarkan
sekelompok kecil muslim yang secara rutin mengkaji ajaran islam. Jumlah peserta
dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji islam
dengan manhaj (kurikulum) tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal
dari jamaah (organisasi) yang menaungi halakah tersebut. Kalangan lain, halakah disebut juga dengan
mentoring, ta’lim, pengajian kelompok,tarbiyah atau sebutan lainnya.[1]
Halakah
berasal dari kata bahasa arab halqah yang berarti kumpulan orang-orang
yang duduk melingkar. Jadi halakah maksudnya adalah proses pembelajaran dimana
peserta didik melingkari gurunya. Dalam halakah, jumlah peserta peserta
berkisar antara 3-12 orang. Tujuannya agar informasi yang disampaikan dapat
menyentuh tiga ranah penting dalam
kehidupan manusia yang oleh Benjamin S. Bloom diistilahkan dengan ranah
kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perbuatan). Dengan
kata lain, dapat menyentuh aspek ilmu, akhlak dan amal.[2] Bentuk
dari proses pendidikan ini adalah adanya pertemuan rutin; ada pembina yang
mengarahkan pada Islam, ada peserta, dan ada suasana yang menguatkan antara
satu dengan yang lainnya.
2.
Sejarah Halakah
Halakah sudah dimulai sejak awal islam. Sebagaimana
diketahui, Makkah merupakan sentral agama bangsa arab. Di sana ada
peribadahan terhadap Ka’bah dan
penyembahan terhadap berhala dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa
arab. Cita-cita untuk memperbaiki keadaan bangsa arab tentu bertambah sulit dan
berat jika orang yang hendak mengadakan perbaikan jauh dari keadaan lingkungan
bangsa arab, hal ini membutuhkan usaha yang keras. maka dalam menghadapi kondisi seperti itu, tindakan
yang paling bijaksana adalah tidak terkejut karena tiba-tiba menghadapi sesuatu yang menggusarkan bangsa arab.[3]
Pada awal dakwah
islam di Makkah, Rasulullah saw. menampakkan islam kepada orang yang paling
dekat dengannya, anggota keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Rasulullah mendakwahkan mereka dan juga
siapa saja yang memang diketahui mencintai kebaikan, kebenaran, dan kejujuran
beliau.
Rasulullah saw. menemui dan mengajarkan Islam kepada
mereka secara sembunyi-sembunyi, hal ini dilakukan karena untuk menjaga
keselamatan masing-masing. Rasulullah membuat pertemuan-pertemuan di rumah beberapa
sahabat, yang masyhur dalam proses penanaman
nilai-nilai ajaran islam ini dilakukan di rumah al-Arqam. Di dalam majelis ini, terdiri dari beberapa orang
sahabat. Rasulullah ` sendiri yang lebih banyak mendidik dan membentuk mereka
agar memiliki kepribadian yang islami. Melalui halakah pertama ini terbentuklah
sekelompok orang mukmin yang senantiasa bahu-membahu untuk untuk menegakkan
kalimat Allah.
Pada periode dakwah di Madinah, halakah
pertama kali dilakukan di Masjid. Nabi saw. melakukan tugas mendidik umat melalui
halakah di masjid yang menyatu dengan rumah beliau pada waktu-waktu yang
dipilih. Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا
Terjemahnya: Nabi SAW membuat sela-sela (lingkaran)
dalam ceramah pada hari-hari tertentu demi menghindari kebosanan.[4]
Dalam halakah, Nabi ` menyampaikan materi
ilmu yang beragam. Namun yang paling diutamakan oleh
Nabi adalah mengajarkan al-Qu’r`an.
Pada
majelis-mejelis halakah kenabian dipelajari ilmu-ilmu dasar
beserta kaidah-kaidahnya, seperti berbagai macam fadhilah, wawasan
pemikiran, akhlak, tradisi yang baik, dan faedah-faedahnya yang besar, yang
merupakan sumber ilmu pengetahuan. Kami akan menuturkan sebagian dari apa yang
dipelajari para sahabat pada halakah agung yang mulia tersebut. Dan tidak
diragukan lagi, sesungguhnya ilmu dasar terpenting di situ adalah al-Qur`an
al-Karim.
Pada
zaman tabi’in, terdapat halakah-halakah ilmu di Madinah Munawwarah yang
memakmurkan masjid Nabawi yang mulia. Di masjid itu para ulama yang langka dari
para pembesar tabi’in berkumpul sebagaimana kumpulan gugusan
bintang-bintang yang bersinar di jantung langit. Ada halakah yang dipimpin
‘Urwah bin az-Zubair, ada halakah yang dipimpin Said bin al-Musayyib, dan ada halakah
yang dipimpin Abdullah bin ‘Utbaz.[5]
Menurut Satria Hari Lubis: halakah berawal dari berdirinya jamaah
Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928 M. di Mesir, Hasan al-Banna sangat prihatin
dengan kondisi umat Islam saat itu yang jauh dari nilai-nilai Islam. Al-Banna
berusaha keras mengembalikan umat kepada agamanya. Dari pengamatannya yang
mendalam, al-Banna pun sampai pada satu kesimpulan bahwa hal ini disebabkan
kaum muslimin tidak terdidik secara Islami. Lalu al-Banna pun mengenalkan
sistem pendidikan alternatif yang harus dilakukan oleh anggota jamaahnya.
Sistem tersebut disebut dengan sistem usrah. Anggota jamaah dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil berdasarkan tingkat pemahamannya terhadap Islam, dengan
dibimbing oleh seorang naqib, para anggota Ikhwanul Muslimin saat itu secara
serius mempelajari Islam yang berorientasi pada pengamalan Islam. hasilnya,
jamaah Ikhwanul Muslimin saat itu dikenal oleh kawan dan lawannya sebagai j metode halakah bagi pendidikan akhlak Islami ummahat
amaah yang anggotanya sangat konsisten menegakkan Islam di dalam diri dan
masyarakat. Sepeninggal Hasan al-Banna, sistem usrah dilanjutkan oleh para
pengikutnya. Sistem ini akhirnya menyebar dengan berbagai modifikasinya ke
berbagai gerakan Islam lainnya.[6]
Di Nusantara, sistem halakah ini dikategorikan dalam sistem pembelajaran
tradisional. Sistem halakah ini sudah mulai diterapkan sejak masuknya Islam di
Nusantara. Pada awalnya diterapkan di masjid-masjid, surau, dan langgar-langgar
yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren. Seiring perkembangan zaman,
pesantren juga ikut mengalami perkembangan, berupa lahirnya berbagai
inovasi baru dalam dunia pendidikan pesantren. Tapi ada hal yang merupakan ciri
khas yang tidak bisa lepas yaitu penerapan sistem halakah dalam pembelajaran di
pesantren, meskipun sudah ada sistem pembelajaran klasik atau madrasah.[7]
Kini fenomena halakah menjadi
umum dijumpai di lingkungan kaum muslimin di mana pun mereka berada. Walaupun
mungkin dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran halakah yang pesat tidak bisa
dilepaskan dari keberhasilan halakah dalam mendidik pesertanya menjadi mukmin
yang bertakwa kepada Allah . Saat ini halakah menjadi sebuah alternatif
pendidikan keislaman yang masif dan merakyat. Di dalam halakah tidak lagi
melihat latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, atau budaya pesertanya.
Bahkan tanpa melihat apakah seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan
agama Islam atau tidak, halakah telah menjadi sebuah wadah pendidikan.
3.
Fungsi Halakah
Secara garis besar fungsi halaqah dapat ditinjau dari
dua segi, yaitu:
a.
Sebagai
forum diskusi, pada forum ini para siswa diberi kesempatan untuk
melakukan refleksi tentang masalah-masalah penting dan sekaligus menunjukkan
ketrampilannya dalam beradu argumentasi. Topik yang menjadi bahan diskusi
seringkali dikaitkan dengan kehidupan intelektual Islam atau
persoalan-persoalan aktual yang lebih banyak ditentukan oleh shaikh yang
bersangkutan.
b.
Sebagai sanggar sastra,
Halaqah dalam wacana ini pada awalnya terbatas dikalangan keluarga istana.
Akhirnya membudaya dikalangan para penguasa. Kelompok-kelompok bangsawan
bawahan. Titik focus penyelenggaraannya cenderung mengukuhkan kembali
ajaran-ajaran tradisional. Namun pada perkembangan selanjutnya mengarah sebagai
media masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam.
Popularitas sebuah sanggar banyak tergantung pada kekayaan dan kekuatan seorang
Patron (pemilik sanggar ) dalam menarik para cendekiawan pada kelompok
masyarakat tertentu. Yaitu terdiri dari kaum cerdik dibidang matematika,
filsafat, teologi, pejabat, politikus dan pemimpin keagamaan.[8]
Sebagai
kesimpulan bahwa Halakah merupakan forum kajian keilmuan yang sistem
penyelenggaraanya dimulai dengan memberikan garis-garis umum mata pelajaran,
dilanjutkan pelajaran secara detail dan mendalam tentang masing-masing sub materi.
Lalu diakhiri dengan evaluasi dalam bentuk diskusi. Proses ini penekanannya
terletak pada analisis dan pengembangan informal tentang pandangan seorang guru
yang disebut dengan shaikh. Dengan demikian maka kurikulum sebuah
halaqah lebih banyak tergantung pada pengalaman dan pengetahuan sang guru atau
pada suatu ijazah atau sertifikasi yang dimiliki seorang guru disaat menempuh
perjalanan keilmiahannya.
4.
Rukun Halakah
Dalam
satu halakah terdapat tiga rukun yang menopang kekuatan halakah dan kekuatan
dakwah serta proses pendidikan. Ketiga rukun itu adalah ta’a>ruf
(saling mengenal), tafa>hum (saling memahami), dan taka>ful
(saling menanggung atau gotong royong).[9]
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.
Rukun Ta‘a>ruf
Allah
mensyariatkan ta‘a>ruf dalam surah al-Hujura>t/49: 1-3 yang
berbunyi:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Terjemahnya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[10]
Ta‘a>ruf
bukan sekedar mengenal nama. Akan
tetapi, ta’a>ruf merupakan proses pengenalan yang mendalam, meliputi
nama seseorang, pekerjaan, alamat, dan posisinya dalam keluarga. Saling
mengenal terhadap kepribadian dan kecenderungan pada akal, tsaqafah,
jiwa, dan kapasitas semangatnya dalam beribadah kepada Allah. Mengenal kondisi
sosial dan ekonomi saudaranya secara sempurna dan terperinci serta kapasitas
yang dimiliki berupa potensi dan kemampuan, serta ketangkasannya dalam bekerja.
Berangkat
dari ta’a>ruf, terjalinlah ukhuwah. Saling mengenal
menumbuhkan perasaan saling mecintai dan dari saling mencintai lahirlah
ukhuwah, dari ta’a>ruflah perintah-perintah Allah yang lain dapat
terealisasikan, yaitu perintah berukhuwah dan tidak bercerai-berai.[11]
Hal yang demikian itu sangat penting dalam berbagai aspek kerja islam agar
dapat memfungsikan kemampuan potensi dan waktu-waktunya untuk kebaikan amal
islam pada satu sisi dan meningkatkan ikatan islam setiap anggota dari sisi
lain, serta untuk memudahkan hubungan antar-mahasiswa.
b.
Rukun Tafa>hum
Tafa>hum
yang dimaksud adalah saling memahami. Tafa>hum
itu tidak sekedar tahu, tetapi mempunyai pengertian mendalam terhadap
saudaranya, kemudian dengan pemahaman itu ia dapat berbuat yang terbaik kepada
diri dan saudaranya tersebut. Dengan adanya ta>fahum, diharapkan
seseorang dapat mengambil keputusan yang tepat saat saudaranya dalam masalah
atau memohon solusi dari persoalannya.[12]
Proses saling memahami akan mengarahkan mahasiswa pada sisi yang positif.
Sebab, bersamaan dengan tumbuhnya suasana saling memahami maka ukhuwah akan
terjalin.
c.
Rukun Taka>ful
Takaful artinya
gotong royong dalam memikul beban. Taka>ful merupakan wujud nyata
keimanan dan inti dari ukhuwah. Satu dengan yang lain ada ikatan untuk berbuat
baik. Dalam taka>ful ada beberapa fase atau tingkatan, sebagaimana
berikut:
1)
Di awali dengan saling mencintai, kasih sayang, saling menghor-mati dan
menghargai,
2)
Saling tolong menolong dalam
berbagai aktifitas yang membutuhkan kerja keras,
3)
Saling membela jika seorang
muslim melakukan kezaliman atau dizalimi
4)
Saling gotong royong pada
tingkat unit pembinaan yaitu antara murabbi (guru/dosen) dan
anggota-anggota unit pembinaannya.[13]
Empat unsur di atas tidak
sekedar menjadi konsumsi akal atau menjadi ucapan lisan belaka, akan tetapi
direalisasikan dalam bentuk nyata. Hal itu dimaksudkan untuk menambah ikatan
ukhuwah dalam jiwa dan perasaan akan cinta dan persaudaraan.
[1]Satria Hadi Lubis, Menggairahkan
Perjalanan Halaqah (Cet.
II; Yogyakarta: Pro-U Media, 2011), h. 16.
[2]Muhammad Sajirun, Manajemen Halaqah
Efektif (Cet.
I; Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2011), h. 6.
[3]Shafiyyurrahman
al-Mubarakfuri, Ar-Rahiiqu
al-Makhtuum: Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ala Shahibina Afdhalish Shalati
Wa as-Salam, terj. Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2010), h. 71.
[4]Muhammad
bin Isma>’i>l al-Bukha>ri>, Sahi>h al-Bukha>ri>,
dalam al-Maktabah al-Sya>milah Ver. 12 [CD-ROM] hadis
no.66
[5]Abu Hasnaa Ade Wahidin, “arti
dan sejarah halakah”, https://pendidikansunnah. wordpress.com/ 2015/01/23/arti-dan-sejarah-halaqah/ (23 Januari 2015).
[6]Satria Hadi Lubis, Menggairahkan
Perjalanan Halaqah, h. 17-18.
[7]Wahidah, “Halakah (Suatu Sistem
Pemeblajaran Tradisional)”, http://wahidah01. blogspot.co.id/2009/04/halaqah-suatu-sistem-pembelajaran.html (20 April
2009).
[9]Hadi Munawar, Menghidupkan
Suasana Tarbawi Di Mihwar Muassasi (Cet. I; Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2010),
h. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar