Senin, 21 Maret 2016

METODE HALAQAH

A. Metode Halakah
1.    Pengertian Halakah
Halakah merupakan istilah yang berhubungan dengan dunia pendidikan khususnya pendidikan atau pengajaran islam (tarbiyah islamiyah). Istilah halakah biasanya digunakan untuk menggambarkan sekelompok kecil muslim yang secara rutin mengkaji ajaran islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji islam dengan manhaj (kurikulum) tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari jamaah (organisasi) yang menaungi halakah tersebut. Kalangan lain, halakah disebut juga dengan mentoring, ta’lim, pengajian kelompok,tarbiyah atau sebutan lainnya.[1]
Halakah berasal dari kata bahasa arab halqah yang berarti kumpulan orang-orang yang duduk melingkar. Jadi halakah maksudnya adalah proses pembelajaran dimana peserta didik melingkari gurunya. Dalam halakah, jumlah peserta peserta berkisar antara 3-12 orang. Tujuannya agar informasi yang disampaikan dapat menyentuh  tiga ranah penting dalam kehidupan manusia yang oleh Benjamin S. Bloom diistilahkan dengan ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perbuatan). Dengan kata lain, dapat menyentuh aspek ilmu, akhlak dan amal.[2] Bentuk dari proses pendidikan ini adalah adanya pertemuan rutin; ada pembina yang mengarahkan pada Islam, ada peserta, dan ada suasana yang menguatkan antara satu dengan yang lainnya.
2.   Sejarah Halakah
Halakah sudah dimulai sejak awal islam. Sebagaimana diketahui, Makkah merupakan sentral agama bangsa arab. Di sana ada peribadahan terhadap Kabah dan penyembahan terhadap berhala dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa arab. Cita-cita untuk memperbaiki keadaan bangsa arab tentu bertambah sulit dan berat jika orang yang hendak mengadakan perbaikan jauh dari keadaan lingkungan bangsa arab, hal ini membutuhkan usaha yang keras. maka dalam menghadapi kondisi seperti itu, tindakan yang paling bijaksana adalah tidak terkejut karena tiba-tiba menghadapi sesuatu yang menggusarkan bangsa arab.[3]
Pada awal dakwah islam di Makkah, Rasulullah saw. menampakkan islam kepada orang yang paling dekat dengannya, anggota keluarganya dan sahabat-sahabatnya.  Rasulullah mendakwahkan mereka dan juga siapa saja yang memang diketahui mencintai kebaikan, kebenaran, dan kejujuran beliau.
Rasulullah saw. menemui dan mengajarkan Islam kepada mereka secara sembunyi-sembunyi, hal ini dilakukan karena untuk menjaga keselamatan masing-masing. Rasulullah membuat pertemuan-pertemuan di rumah beberapa sahabat, yang masyhur dalam proses penanaman nilai-nilai ajaran islam ini  dilakukan di rumah al-Arqam. Di dalam majelis ini, terdiri dari beberapa orang sahabat. Rasulullah ` sendiri yang lebih banyak mendidik dan membentuk mereka agar memiliki kepribadian yang islami. Melalui halakah pertama ini terbentuklah sekelompok orang mukmin yang senantiasa bahu-membahu untuk untuk menegakkan kalimat Allah.
Pada periode dakwah di Madinah, halakah pertama kali dilakukan di Masjid. Nabi  saw. melakukan tugas mendidik umat melalui halakah di masjid yang menyatu dengan rumah beliau pada waktu-waktu yang dipilih. Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا
Terjemahnya: Nabi SAW membuat sela-sela (lingkaran) dalam ceramah pada hari-hari tertentu demi menghindari kebosanan.[4]
Dalam halakah, Nabi ` menyampaikan materi ilmu yang beragam. Namun yang paling diutamakan oleh Nabi adalah mengajarkan al-Qur`an.
Pada majelis-mejelis halakah kenabian dipelajari ilmu-ilmu dasar beserta kaidah-kaidahnya, seperti berbagai macam fadhilah, wawasan pemikiran, akhlak, tradisi yang baik, dan faedah-faedahnya yang besar, yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Kami akan menuturkan sebagian dari apa yang dipelajari para sahabat pada halakah agung yang mulia tersebut. Dan tidak diragukan lagi, sesungguhnya ilmu dasar terpenting di situ adalah al-Qur`an al-Karim.
Pada zaman tabi’in, terdapat halakah-halakah ilmu di Madinah Munawwarah yang memakmurkan masjid Nabawi yang mulia. Di masjid itu para ulama yang langka dari para pembesar tabi’in berkumpul sebagaimana kumpulan gugusan bintang-bintang yang bersinar di jantung langit. Ada halakah yang dipimpin ‘Urwah bin az-Zubair, ada halakah yang dipimpin Said bin al-Musayyib, dan ada halakah yang dipimpin Abdullah bin ‘Utbaz.[5]
Menurut Satria Hari Lubis: halakah berawal dari berdirinya jamaah Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928 M. di Mesir, Hasan al-Banna sangat prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang jauh dari nilai-nilai Islam. Al-Banna berusaha keras mengembalikan umat kepada agamanya. Dari pengamatannya yang mendalam, al-Banna pun sampai pada satu kesimpulan bahwa hal ini disebabkan kaum muslimin tidak terdidik secara Islami. Lalu al-Banna pun mengenalkan sistem pendidikan alternatif yang harus dilakukan oleh anggota jamaahnya. Sistem tersebut disebut dengan sistem usrah. Anggota jamaah dibagi dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan tingkat pemahamannya terhadap Islam, dengan dibimbing oleh seorang naqib, para anggota Ikhwanul Muslimin saat itu secara serius mempelajari Islam yang berorientasi pada pengamalan Islam. hasilnya, jamaah Ikhwanul Muslimin saat itu dikenal oleh kawan dan lawannya sebagai j metode halakah bagi pendidikan akhlak Islami ummahat amaah yang anggotanya sangat konsisten menegakkan Islam di dalam diri dan masyarakat. Sepeninggal Hasan al-Banna, sistem usrah dilanjutkan oleh para pengikutnya. Sistem ini akhirnya menyebar dengan berbagai modifikasinya ke berbagai gerakan Islam lainnya.[6]
    Di Nusantara, sistem halakah ini dikategorikan dalam sistem pembelajaran tradisional. Sistem halakah ini sudah mulai diterapkan sejak masuknya Islam di Nusantara. Pada awalnya diterapkan di masjid-masjid, surau, dan langgar-langgar yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren. Seiring perkembangan zaman,  pesantren juga ikut mengalami perkembangan, berupa lahirnya berbagai inovasi baru dalam dunia pendidikan pesantren. Tapi ada hal yang merupakan ciri khas yang tidak bisa lepas yaitu penerapan sistem halakah dalam pembelajaran di pesantren, meskipun sudah ada  sistem pembelajaran klasik atau madrasah.[7]
   Kini fenomena halakah menjadi umum dijumpai di lingkungan kaum muslimin di mana pun mereka berada. Walaupun mungkin dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran halakah yang pesat tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan halakah dalam mendidik pesertanya menjadi mukmin yang bertakwa kepada Allah . Saat ini halakah menjadi sebuah alternatif pendidikan keislaman yang masif dan merakyat. Di dalam halakah tidak lagi melihat latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, atau budaya pesertanya. Bahkan tanpa melihat apakah seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama Islam atau tidak, halakah telah menjadi sebuah wadah pendidikan.
3.   Fungsi Halakah
Secara garis besar fungsi halaqah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
a.    Sebagai forum diskusi, pada forum ini para siswa diberi kesempatan untuk melakukan refleksi tentang masalah-masalah penting dan sekaligus menunjukkan ketrampilannya dalam beradu argumentasi. Topik yang menjadi bahan diskusi seringkali dikaitkan dengan kehidupan intelektual Islam atau persoalan-persoalan aktual yang lebih banyak ditentukan oleh shaikh yang bersangkutan.
b.    Sebagai sanggar sastra, Halaqah dalam wacana ini pada awalnya terbatas dikalangan keluarga istana. Akhirnya membudaya dikalangan para penguasa. Kelompok-kelompok bangsawan bawahan. Titik focus penyelenggaraannya cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional. Namun pada perkembangan selanjutnya mengarah sebagai media masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam. Popularitas sebuah sanggar banyak tergantung pada kekayaan dan kekuatan seorang Patron (pemilik sanggar ) dalam menarik para cendekiawan pada kelompok masyarakat tertentu. Yaitu terdiri dari kaum cerdik dibidang matematika, filsafat, teologi, pejabat, politikus dan pemimpin keagamaan.[8]
Sebagai kesimpulan bahwa Halakah merupakan forum kajian keilmuan yang sistem penyelenggaraanya dimulai dengan memberikan garis-garis umum mata pelajaran, dilanjutkan pelajaran secara detail dan mendalam tentang masing-masing sub materi. Lalu diakhiri dengan evaluasi dalam bentuk diskusi. Proses ini penekanannya terletak pada analisis dan pengembangan informal tentang pandangan seorang guru yang disebut dengan shaikh. Dengan demikian maka kurikulum sebuah halaqah lebih banyak tergantung pada pengalaman dan pengetahuan sang guru atau pada suatu ijazah atau sertifikasi yang dimiliki seorang guru disaat menempuh perjalanan keilmiahannya.
4.    Rukun Halakah
Dalam satu halakah terdapat tiga rukun yang menopang kekuatan halakah dan kekuatan dakwah serta proses pendidikan. Ketiga rukun itu adalah ta’a>ruf (saling mengenal), tafa>hum (saling memahami), dan taka>ful (saling menanggung atau gotong royong).[9] Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.    Rukun Ta‘a>ruf
Allah mensyariatkan ta‘a>ruf dalam surah al-Hujura>t/49: 1-3 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Terjemahnya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[10]
Ta‘a>ruf  bukan sekedar mengenal nama. Akan tetapi, ta’a>ruf merupakan proses pengenalan yang mendalam, meliputi nama seseorang, pekerjaan, alamat, dan posisinya dalam keluarga. Saling mengenal terhadap kepribadian dan kecenderungan pada akal, tsaqafah, jiwa, dan kapasitas semangatnya dalam beribadah kepada Allah. Mengenal kondisi sosial dan ekonomi saudaranya secara sempurna dan terperinci serta kapasitas yang dimiliki berupa potensi dan kemampuan, serta ketangkasannya dalam bekerja.
Berangkat dari ta’a>ruf, terjalinlah ukhuwah. Saling mengenal menumbuhkan perasaan saling mecintai dan dari saling mencintai lahirlah ukhuwah, dari ta’a>ruflah perintah-perintah Allah yang lain dapat terealisasikan, yaitu perintah berukhuwah dan tidak bercerai-berai.[11] Hal yang demikian itu sangat penting dalam berbagai aspek kerja islam agar dapat memfungsikan kemampuan potensi dan waktu-waktunya untuk kebaikan amal islam pada satu sisi dan meningkatkan ikatan islam setiap anggota dari sisi lain, serta untuk memudahkan hubungan antar-mahasiswa.
b.    Rukun Tafa>hum
Tafa>hum yang dimaksud adalah saling memahami. Tafa>hum itu tidak sekedar tahu, tetapi mempunyai pengertian mendalam terhadap saudaranya, kemudian dengan pemahaman itu ia dapat berbuat yang terbaik kepada diri dan saudaranya tersebut. Dengan adanya ta>fahum, diharapkan seseorang dapat mengambil keputusan yang tepat saat saudaranya dalam masalah atau memohon solusi dari persoalannya.[12] Proses saling memahami akan mengarahkan mahasiswa pada sisi yang positif. Sebab, bersamaan dengan tumbuhnya suasana saling memahami maka ukhuwah akan terjalin.
c.    Rukun Taka>ful
Takaful artinya gotong royong dalam memikul beban. Taka>ful merupakan wujud nyata keimanan dan inti dari ukhuwah. Satu dengan yang lain ada ikatan untuk berbuat baik. Dalam taka>ful ada beberapa fase atau tingkatan, sebagaimana berikut:
1)   Di awali dengan saling mencintai, kasih sayang, saling menghor-mati dan menghargai,
2)   Saling tolong menolong dalam berbagai aktifitas yang membutuhkan kerja keras,
3)   Saling membela jika seorang muslim melakukan kezaliman atau dizalimi
4)   Saling gotong royong pada tingkat unit pembinaan yaitu antara murabbi (guru/dosen) dan anggota-anggota unit pembinaannya.[13]
Empat unsur di atas tidak sekedar menjadi konsumsi akal atau menjadi ucapan lisan belaka, akan tetapi direalisasikan dalam bentuk nyata. Hal itu dimaksudkan untuk menambah ikatan ukhuwah dalam jiwa dan perasaan akan cinta dan persaudaraan.


[1]Satria Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah (Cet. II; Yogyakarta: Pro-U Media, 2011), h. 16.
[2]Muhammad Sajirun, Manajemen Halaqah Efektif  (Cet. I; Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2011), h. 6.
[3]Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiiqu al-Makhtuum: Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ala Shahibina Afdhalish Shalati Wa as-Salam, terj. Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 71.
[4]Muhammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri>, Sahi>h al-Bukha>ri>, dalam al-Maktabah al-Sya>milah Ver. 12 [CD-ROM] hadis no.66
[5]Abu Hasnaa Ade Wahidin, “arti dan sejarah halakah”, https://pendidikansunnah. wordpress.com/ 2015/01/23/arti-dan-sejarah-halaqah/ (23 Januari 2015).
[6]Satria Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah, h. 17-18.
[7]Wahidah, “Halakah (Suatu Sistem Pemeblajaran Tradisional)”, http://wahidah01. blogspot.co.id/2009/04/halaqah-suatu-sistem-pembelajaran.html (20 April 2009).
[8]Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 97-98.
[9]Hadi Munawar, Menghidupkan Suasana Tarbawi Di Mihwar Muassasi  (Cet. I; Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2010), h. 100.
[10]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi IV, h. 655.
[11]Hadi Munawar, Menghidupkan Suasana Tarbawi Di Mihwar Muassasi, h. 101.
[12]Hadi Munawar, Menghidupkan Suasana Tarbawi Di Mihwar Muassasi, h. 103.
[13]Hadi Munawar, Menghidupkan Suasana Tarbawi Di Mihwar Muassasi, h. 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar