Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah,
seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam
untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak
sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud
dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara
yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya.
Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah
dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat
mengetahui hakikat sebenarnya.
Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit
menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat
yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini
menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini
secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita
selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
~ AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu
adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.
Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)
Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata
tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi
umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga
mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga
tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya
kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram
adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)
~ SYARAT DITERIMANYA AMAL
Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak
beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah
jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah
disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya
dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun
diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang
tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20
dan Muslim no. 1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang
sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan
zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat
[sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan
batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah,
pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan
yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak.
Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari
Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq),
hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari
syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits
ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka
amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor
syari’at, maka amalan tersebut tertolak.
Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran
kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada
dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya
menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan
atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih
berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang
diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar
dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum
wal Hikam, hal. 77-78)
Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika
memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua
syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.
~ PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al
‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am
[6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh
sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara
rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul
pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al
Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang
dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau
mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي
الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي
التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa
ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang
dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ
يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ
الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan
(adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu
untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al
Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa,
18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang
baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit
Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar
Royah)
Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah.
Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al
Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua
mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang
diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik
yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy
Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir.
Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama
karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang
melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam
penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al
Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, http://www.islamspirit.com)
Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh
sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat,
ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit
kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal
ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah
matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah,
seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan
‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara
pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari
telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578.
Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if
Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat
yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat
hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa
yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا
كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap
mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi.
Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib
berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan
petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi
geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini
dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu
Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً،
وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan
sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya
tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen),
janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.
Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al
Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id
bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
~ KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang
bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji
yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah
(secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan
ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala
sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang
tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy
Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob
tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar
berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah
paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik
(bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk
sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu
Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka
membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik
(bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang
telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan
bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali
pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar
dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
~ SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ’sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang
diada-adakan (dalam agama, pen)’, ’setiap bid’ah adalah sesat’, dan
’setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap
perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun
menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah.
Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah
orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir
Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah
sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai
dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh
karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah
yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat
ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian
orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”
(Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat
orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir,
bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari
mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ
حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ
هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم-
مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ،
وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى
مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun
dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai
umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi
kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari
agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan
(bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ
الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan,
namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain
Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai
bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik
(hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia
bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan
perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua
atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada
sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah
bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan
Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa
dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum
(termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh
sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah
beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak
dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat
(maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai
bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan
muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana
perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang
Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah
muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul
adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang
baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah
sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang
tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap
harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’
Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan
dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang
menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan
mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik
(hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah
bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau
ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih-
bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali
pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin
memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al
Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan
benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap
perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah)
adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits
’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap
dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan
takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits
dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman
Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di
generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak
sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan
apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di
tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah
namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya
kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita
hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa
menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun
perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik
(hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah,
mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan
kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana
bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an.
Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ
نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan
ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan
persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala
kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan
kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan
oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang
tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di
masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
1. Tidak dilakukan terus menerus.
2. Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
3. Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
4. Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka
ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah
bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada
point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, http://www.islamspirit.com)
Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah
yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu
shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam
membela bid’ah dan jawabannya.
[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah
Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap
bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan
di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini
seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang
tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu
terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang
tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama
dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh
sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah
(‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat
larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni
tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara
non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah,
maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin
melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara
duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih
mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian,
kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)
Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai
macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini,
itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam
bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah
secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.
[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil
bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit-
saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf
padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya.
Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan
pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami
temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada
di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah.
Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh
Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib
ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau
mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal
tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik
itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak.
Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij,
Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah
Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk
menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97)
mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an
adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa
mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu
Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan
menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan
syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau
pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan,
akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan
mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah,
maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada
contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf
merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak
ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil
tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh,
hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan).
Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka
menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits.
Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat
suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan
maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong
untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada
dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut
bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat,
maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika
shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu
beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada
penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada
adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan
meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an.
Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat
itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi,
sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor
penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna
dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu
maslahat.
Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya
semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah
membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik
agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan
terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu
kembali pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat
yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di
atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus
ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia
melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul
ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan
banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat
sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang
paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun
tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut
tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan
mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak
ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal
Hikam, hal. 19)
Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan
Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak
mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa
sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar
karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan
mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah
yang benar “Niat baik semata belum cukup.”
[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…
Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai
bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3
hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi
tradisi kami…”
Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu
ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki
argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka
hanya bisa beralasan,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama
dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az
Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu
hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum
syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun
ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi
yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada
tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau
keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah
mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu
tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana
perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada
unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah
tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa
termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah
sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi
selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at
sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena
melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya
melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai
sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami
menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi
selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut
adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya
keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala
kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa
melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya.
Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban
kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi
bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada
tuntunannya.
[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini
Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi-
yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini
kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para
Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil.
Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As
Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di
sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka
ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan
Rasul-Nya.
Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini
telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak
mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru.
Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang
berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan
maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian
negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi
dengan amalan sebagian kelompok?
Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu,
mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa
Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah-
sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk
Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi
sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim
yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi
Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al
Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali,
49-50, Darul Hijroh)
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya
pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan
apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan
kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari
banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] :
116)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.
[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!
Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu
mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan
bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau
ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama
sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan
pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara
global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk
mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban
(hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah
halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada
contohnya dalam syari’at.
Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1]
dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan
[2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah
hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang
disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam
aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara
(kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di
berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu
yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara
semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi
sunnah.
Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban
(pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam
Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah
idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun
terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak
ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal
tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil
adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan
tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun,
yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya.
Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil
pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang
menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula
dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha
illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan
juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al
Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam
Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang
mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa
kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin
adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.
Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al
Qur’an maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami
permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain
sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?
Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak
buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.
[Pertama, amalan bid'ah tertolak]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang
tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20
dan Muslim no. 1718)
Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] :
103-104)
[Kedua, pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus
menerus dalam bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami
su'ul khotimah]
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk
bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)
[Ketiga, pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu
'alaihi wa sallam]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ
مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى
فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا
بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di
hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan
(minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku
lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman,
‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’
“ (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman,
‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti
ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti
ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang
diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal
ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran
(al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara
baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang
menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan
telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga
termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy
Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan
menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga
kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat,
Amin Ya Mujibad Du’a-
[Keempat, pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh
orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran
orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran
yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan
kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat
baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi
sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang
menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung,
tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling
mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan
ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita
melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus
melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika
melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti
mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah
dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari
orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan
melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh
generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari
yang mengikuti kita yang kita peroleh.
Marilah Bersatu di Atas Kebenaran
Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami
untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian
orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah
bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah
agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin
saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan
pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi
Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku
masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di
dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang
singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan
berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut.
Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ …
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal.
Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami
dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun
hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu
memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan
amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud
da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar