BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar adalah syari’at islam yang menjadi kewajiban bagi seluruh umat islam melalui firman Allah Ta’ala, yaitu ayat yang pertama kali turun dalam surat Al-‘Alaq (96):1-5 yang berbunyi.
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
Terjemahnya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
Oleh karena itu, mau tidak mau, sebagai umat Nabi Muhammad kita harus selalu belajar dan belajar. Terlebih lagi pada usia anak-anak. Karena pada masa itu proses pembelajaran sangatlah mudah diterima atau mendapat respon yang baik dari anak-anak.
Keberhasilan dalam melaksanakan suatu tugas merupakan dambaan setiap orang. Berhasil berarti terwujudnya harapan. Hal ini juga menyangkut segi efisiensi, rasa percaya diri, ataupun prestise. Lebih-lebih bila keberhasian tersebut terjadi pada tugas atau aktivitas yang berskala besar. Namun perlu disadari bahwa pada dasarnya setiap tugas atau aktivitas selalu berakhir pada dua kemungkinan : berhasil atau gagal.
Bila keberhasilan merupakan dambaan setiap orang, maka kegagalan juga dapat terjadi pada setiap orang. Beberapa wujud ketidak berhasilan siswa dalam belajar yaitu : memperoleh nilai jelek untuk sebagian atau seluruh mata pelajaran, tidak naik kelas, putus sekolah (dropout), dan tidak lulus ujian akhir.
Kegagalan dalam belajar sebagaimana contoh di atas berarti rugi waktu, tenaga, dan juga biaya. Dan tidak kalah penting adalah dampak kegagalam belajar pada rasa percaya diri. Kerugian tersebut bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh keluarga dan lembaga pendidikan. Oleh karena itu upaya mencegah atau setidak tidaknya meminimalkan, dan juga memecahkan kesulitan belajar melalui diagnosis kesulitan belajar siswa merupakan kegiatan yang perlu dilaksanakan.
Akan tetapi, banyak sekali proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak-anak yang dibimbing oleh seorang guru, menghasilkan hanya sedikit perubahan yang dialami oleh anak, bahkan tidak sama sekali. Hal itu disebabkan adanya kesulitan anak tersebut dalam belajar. Tentunya banyak faktor yang dapat mempengaruhinya.
Dewasa ini sering kita lihat banyak anak-anak yang mengalami kesulitan belajar.Pada dasarnya kesulitan belajar tidak hanya dialami oleh siswa yang berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa berkampuan tinggi. selain itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkampuan rata –rata ( normal ) disebabkan oleh faktor –faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik sesuai dengan harapan.Dalam referensi lain juga dijelaskan mengenai pengertian kesulitan belajar. Kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan –hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar.
Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah (kelainan mental ), akan tetapi dapat juga disebabkan oelh faktor –faktor non –intelegensi. Dengan demkian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar, karena itu dalam rangka memberikan bimbingan yang tepat kepada setiap anak didik, maka para pendidik perlu memahami masalah –masalah yang berhubungan dengan kesulitan belajar. Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari nenurunya kinerja akademik atau belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan denga munculnya kelainan prilaku (Misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak di dalam kelas, megusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah dan sering minggat dari sekolah.Menurut para ahli pendidikan, hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor yang terdapat dalam diri peserta didik itu sendiri yang disebut faktor internal, dan yang terdapat diluar diri peserta didik yang disebut dengan eksternal.
B. Tujuan Penelitian
dari uraian latar belakang diatas, ada beberapa tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kesulitan belajar siswa.
2. Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar.
3. Cara mengatasi kesulitan belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesulitan Belajar
1. Pengertian Belajar dan Kesulitan Belajar
Menurut Drs. Tadjab, M.A. dalam bukunya Ilmu Jiwa Pendidikan, belajar bisa didefinisikan “berubahnya kemampuan seseorang untuk melihat, berfikir, merasakan, mengerjakalan sesuatu, melalui berbagai pengalaman-pengalaman yang sebagiannya bersifat perseptual, sebagiannya bersifat intelektual, emosional maupun motorik.”
Pengertian belajar yang lain dikemukakan oleh Fontana. Menurut Fontana (1981), belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam prilaku individu sebagai hasil dari pengalaman.
Adapun definisi belajar menurut beberapa ahli yang dikutip oleh Drs. Wasty Soemanto, M. Pd. Dalam bukunya Psikologi Pendidikan.
Menurut James O. Wittaker, belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
Menurut Howard L. Kingsley, “Belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam artian luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
5
Adapun kesulitan belajar sendiri, dapat diartikan sebagai hambatan dan gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf integensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai.
Jadi, dapat dikatakan kesulitan belajar siswa dapat ditunjukkan oleh adanya hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan tersebut bisa bersifat psikologis, sosiologis maupun fisiologis.
2. Jenis jenis kesulitan Belajar
Dari pengertian kesulitan belajar di atas maka jenis-jenis kesulitan belajar di Sekolah Dasar dapat dikelompokkan kepada siswa-siswa yang mengalaminya. Jenis-jenis kesulitan belajar tersebut yaitu:
a. Kesulitan membaca (disleksia)
Membaca merupakan aktivitas audiovisual untuk memperoleh makna dari symbol berupa huruf atau kata. Aktivitas ini meliputi dua proses, yaitu proses decoding, juga dikenal dengan istilah membaca teknis, dan proses pemahaman. Membaca teknis adalah proses pemahaman atas hubungan antar huruf dan bunyi atau menerjemahkan kata-kata tercetak menjadi bahasa lisan atau sejenisnya.
Berdasarkan hasil penelitian di negara maju, lebih dari 10% murid sekolah mengalami kesulitan membaca. Kesulitan membaca ini menjadi penyebab utama kegagalan anak di sekolah. Hal ini dapat dipahami, kerena membaca merupakan salah satu bidang akademik dasar, selain menulis dan berhitung. Kesulitan membaca juga menyebabkan anak merasa rendah diri, untuk termotivasi belajar, dan sering juga mengakibatkan timbulnya perilaku menyimpang pada anak. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat yang semakin maju, kemampuan membaca merupakan kebutuhan, karena sebagian informasi disajikan dalam bentuk tertulis dan hanya dapat diperoleh melalui membaca.
Kesulitan belajar membaca sering disebut disleksia. Kesulitan belajar membaca yang berat disebut aleksia. Kemampuan membaca tidak hanya merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang akademik, tetapi juga untuk meningkatkan keterampilan kerja dan memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara bersama. Ada dua jenis pelajaran membaca, yaitu membaca permulaan atau membaca lisan dan membaca pemahaman. Mengingat pentingnya kemampuan membaca bagi kehidupan, kesulitan belajar membaca hendakna ditangani sedini mungkin. Ada dua tipe disleksia, yaitu disleksia auditoris dan disleksia visual.
Anak yang memiliki keterlambatan kemampuan membaca, mengalami kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata (misalnya huruf atau suara yang seharusnya tidak diucapkan, sisipan, penggantian atau kebalikan) atau memahaminya (misalnya, memahami fakta-fakta dasar, gagasan, utama, urutan peristiwa, atau topik sebuah bacaan). Mereka juga mengalami kesulitan lain seperti cepat melupakan apa yang telah dibacanya. Sebagian ahli berargumen bahwa kesulitan mengenali bunyi-bunyi bahasa (fonem) merupakan dasar bagi keterlambatan kemampuan membaca, dimana kemampuan ini penting sekali bagi pemahaman hubungan antara bunyi bahasa dan tulisan yang mewakilinya. Gejala-gejala disleksia visual adalah sebagai berikut:
1) Tendensi terbalik.
2) Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf atau kata yang mirip.
3) Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual.
4) Memori visual terganggu.
5) Kecepatan persepsi lambat.
6) Kesulitan analisis dan sintesis visual.
7) Hasil tes membaca buruk.
8) Biasanya lebih baik dalam kemampuan aktivitas auditoris.
Anak yang mengalami disleksia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tidak lancar dalam membaca,
2) Sering banyak kesalahan dalam membaca,
3) Kemampuan memahami isi bacaan sangat rendah,
4) Sulit membedakan huruf yang mirip.
b. Kesulitan menulis (disgrafia)
Penelitian dan pengembangan dalam pengajaran menulis sejak dulu memang kurang mendapat perhatian. Hal ini terlihat jarangnya hasil penelitian pembaharuan metodologi pengajaran menulis. Baru dalam dasa warsa terakhir ini, beberapa pakar mulai tertarik pada bidang ini. Beberapa hasil penelitian mulai dipublikasikan, demikian juga muncul beberapa pemikiran inovatif terhadap pengajaran membaca. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara maju, 80% dari populasi murid sekolah menengah tidak dapat menulis dengan baik dan 50% tidak menyukai proses menulis. Di kalangan pendidikan luar biasa, angka-angka ini pasti lebih besar, karena sebagian besar anak luar biasa mengalami kesulitan menulis. Penelitian ini dilakukan di negara maju. Di Indonesia masalahnya mungkin lebih besar, karena proses belajar mengajar di semua jenjang pendidikan tidak menuntut anak untuk banyak menulis.
Tujuan utama pengajaran menulis adalah keterbacaan. Untuk dapat mengkomunikasikan pikiran dalam bentuk tertulis, pertama-tama anak harus dapat menulis dengan mudah dan dapat membaca. Oleh karena itu, pengajaran menulis pada tahap awal difokuskan pada cara memegang alat tulis dengan benar, menulis huruf balok dan huruf bersambung dengan benar, dan menjaga jarak dan proporsi huruf secara benar dan konsisten.
Kesulitan belajar menulis disebut juga disgrafia. Kesulitan belajar menulis yang berat disebut agrafia. Ada tiga jenis pelajaran menulis, yaitu menulis permulaan, mengeja atau dikte, dan menulis ekspresif. Kegunaan kemampuan menulis bagi seorang siswa adalah untuk menyalin, mencatat, dan mengerjakan sebagian besar tugas sekolah. Oleh karena itu, kesulitan belajar menulis hendaknya dideteksi dan ditangani sejak dini agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Ada beberapa jenis kesulitan yang dialami oleh anak berkesulitan menulis, antara lain sebagai berikut:
1) Terlalu terlambat dalam menulis.
2) Salah arah ada penulisan huruf dan angka, misalnya menulis huruf “n” dimulai dari ujung bawah kaki kanan huruf, naik, lengkung ke kiri, ke bawah, baru kembali naik,
3) Terlalu miring.
4) Jarak antar huruf tidak konsisten.
5) Tulisan kotor.
6) Tidak tepat dalam mengikuti garis horizontal.
7) Bentuk huruf atau angka tidak terbaca.
8) Tekanan pensil tidak tepat (terlalu tebal atau tipis).
9) Ukuran tulisan terlalu besar atau terlalu kecil.
10) Kentuk terbalik (seperti bercermin).
Kesulitan menulis yang dialami anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya gangguan motorik, gangguan emosi, gangguan persepsi visual, atau gangguan ingatan. Gangguan gerak halus dapat menganggu keterampilan menulis, misalnya seorang anak mungkin mengerti ejaan suatu kata, tetapi ia tidak dapat menulis secara jelas ataun mengikuti kecepatan gurunya, hal ini dapat berakibat pada penguasaan bidang studi akademik lain.
Anak yang mengalami disgrafia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tulisan terlalu jelek atau tidak terbaca.
2) Sering terlambat dibanding yang lain dalam menyalin tulisan.
3) Tulisan banyak salah, banyak huruf terbalik dan hilang.
4) Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
5) Menulis huruf tidak sesuai dengan kaidah bahasa.
c. Kesulitan berhitung (diskalkulia)
Berhitung adalah salah satu cabang matematika, ilmu hitung adalah suatu bahasa yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara berbagai proyek, kejadian, dan waktu. Ada orang yang beranggapan bahwa berhitung sama dengan matematika. Anggapan semacam ini tidak sepenuhnya keliru karena hamper semua cabang matematika yang menurut Moris Kline (1981) berjumlah delapan puluh cabang besar selalu ada berhitung.
Kesulitan belajar berhitung disebut juga diskalkulia. Kesulitan belajar berhitung yang berat disebut akalkulia. Ada tiga elemen pelajaran berhitung yang harus dikuasai oleh anak. Ketiga elemen tersebut adalah konsep, komputasi, dan pemecahan masalah. Seperti halnya bahasa, berhitung yang merupakan bagian dari matematika adalah sarana sarana berpikir keilmuan. Oleh karena itu, seperti halnya kesulitan belajar bahasa, kesulitan berhitung hendaknya dideteksi dan ditangani sejak dini agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Kesulitan belajar berhitung merupakan jenis kesulitan belajar terbanyak disamping membaca. Padahal seperti halnya keterampilan membaca, keterampilan menghitung merupakan sarana yang sangat penting untuk menguasai bidang studi lainnya. Ciri-ciri anak yang mengalami diskalkula yaitu:
1) Sering sulit membedakan tanda-tanda dalam hitungan,
2) Sering sulit mengoperasikan hitungan/bilangan meskpun sederhana,
3) Sering salah membilang dengan urut,
4) Sulit membedakan angka yang mirip, misalnya angka 6 dan 9, 17 dengan 71,
5) Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
B. Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar
Masalah kesulitan belajar ini, tentunya disebabkan oleh berbagai faktor. Untuk memberikan suatu bantuan kepada anak yang mengalami kesulitan belajar, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu faktor apa yang menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar. Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu:
1. Faktor-Faktor Internal (faktor dari dalam diri manusia itu sendiri) meliputi:
a. Faktor Fisiologi
1) Karena sakit
Seorang yang sakit akan mengalami kelemahan fisiknya, sehingga saraf sensoris dan motorisnya lemah. Akibatnya, ransangan yang diterima melalui indranya tidak dapat diteruskan keotak, lebih-lebih sakitnya lama, sarafnya akan bertambah lemah.
2) Karena kurang sehat
Anak yang kurang sehat dapat mengalami kesulitan belajar, sebab ia mudah capek, mengantuk, pusing, daya konsentrasinya hilang, kurang semangat, pikiran terganggu. Karena hal-hal tersebut maka dalam penerimaan pelajaranpun kurang efektif karena saraf otak tidak mampu bekerja secara optimal meproses, mengolah, menginterpretasi dan mengorganisasi bahan pelajaran melalui indranya. Oleh karena itu, seorang guru atau petugas diagnostik harus meneliti kadar gizi makanan dari anak.
3) sebab karena cacat
cacat tubuh disebabkan atas:
a) cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, dan gangguan psikomotor.
b) Cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, hilang tangannya dan kakinya.
b. Faktor psikologi
1) Bakat
Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Setiap individu mempunyai bakat yang berbeda-beda. Bakat yang mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi anak didik. Seseorang akan mudah mempelajari sesuatu sesuai dengan bakatnya. Apabila seorang anak harus mempelajari bahan yang lain dari bakatnya akan cepat bosan, mudah putus asa, dan tidak senang. Hal-hal tersebut akan tampak pada anak yang suka mengganggu di kelas, berbuat gaduh, tidak mau belajar sehingga nilainya rundah.
2) Minat
Tidak adanya minat seorang anak terhadap suatu pelajaran akan timbul kesulitan belajar. Belajar yang tidak ada minatnya mungkin tidak sesuai dengan bakatnya, tidak sesuai dengan kebutuhannya, tidak sesuai dengan kecakapannya dan tidak sesuai dengan tipe-tipe khusus anak banyak menimbulkan problem pada dirinya. Karena itu, pelajaran pun tidak pernah terjadi proses dalam otak, akibatnya timbul kesulitan belajar.
3) Sikap Terhadap Belajar
Selama melakukan proses pembelajaran sikap siswa akan menentukan hasil dari pembelajaran tersebut. Pemahaman siswa yang salah terhadap belajar akan membawa kepada sikap yang salah dalam melakukan pembelajaran. Sikap siswa ini akan mempengaruhinya terhadap tindakan belajar. Sikap yang salah akan membawa siswa mersa tidak peduli dengan belajar lagi. Akibatnya tidak akan terjadi proses belajar yang kondusif.
4) Motivasi Belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Lemahnya motivasi atau tiadanya motivasi belajar akan melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya mutu belajar akan menjadi rendah. Oleh karena itu motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus menerus.
5) Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian guru perlu melakukan berbagai strategi belajar mengajar dan memperhatikan waktu belajar serta selingan istirahat. Menurut seorang ilmuan ahli psikologis kekuatan belajar seseorang setelah tiga puluh menit telah mengalami penurunan. Ia menyarankan agar guru melakukan istirahat selama beberapa menit. Dengan memberikan selingan istirahat, maka perhatian dan prestasi belajar dapat ditingkatkan.
6) Mengolah Bahan Belajar
Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi bermakna bagi siswa. Isi bahan belajar merupakan nilai nilai dari suatu ilmu pengetahuan, nilai agama, nilai kesusilaan, serta nilai kesenian. Kemampuan siswa dalam mengolah bahan pelajaran menjadi makin baik jika siswa berperan aktif selama proses belajar.
7) Kemampuan Berprestasi
Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar merupakan puncak suatu proses belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan hasil belajar yang telah lama ia lakukan. Siswa menunjukan bahwa ia telah mampu memecahkan tugas-tugas belajar atau menstransfer hasil belajar. Dari pengalaman sehari-hari di sekolah diketahui bahwa ada sebagian siswa tidak mampu berprestasi dengan baik. Kemampuan berprestasi tersebut terpengaruh pada proses-proses penerimaan, pengaktifan, pra-pengolahan, pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman.
8) Rasa Percaya Diri Siswa
Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian perwujudan diri yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa. Semakin sering siswa mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik maka rasa percaya dirinya akan meningkat. Dan apabila sebaliknya yang terjadi maka siswa akan merasa lemah percaya dirinya.
9) Intelegensi Dan Keberhasilan Belajar
Intelegensi merupakan suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan sehari-hari. Dengan perolehan hasil belajar yang rendah yang disebabkan oleh intelegensi yang rendah atau kurangnya kesungguhan belajar, berarti terbentuknya tenaga kerja yang bermutu rendah. Hal ini akan merugikan calon tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu pada tempatnya mereka didorong untuk melakukan belajar dibidang kterampilan.
10) Kebiasaan Belajar
Kebiasaan-kebiasaan belajar siswa akan mempengaruhi kemampunanya dalam berlatih dan menguasai materi yang telah disampaikan oleh guru. Kebiasaan buruk tersebut dapat berupa belajar pada akhir semester, belajar tidak teratur, menyia-nyiakan kesempatan belajar, bersekolah hanya untuk bergengsi, datang terlambat bergaya pemimpin, bergaya jantan seperti merokok. Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah-sekolah pelosok, kota besar, kota kecil. Untuk sebagian kebiasaan tersebut dikarenakan oleh ketidakmengertian siswa dengan arti belajar bagi diri sendiri.
11) Cita-Cita Siswa
Cita-cita sebagai motivasi intrinsic perlu didikan. Didikan memiliki cita-cita harus ditanamkan sejak mulai kecil. Cita-cita merupakan harapan besar bagi siswa sehingga siswa selalu termotivasi untuk belajar dengan serius demi menggapai cita-cita tersebut. Dengan mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan berprestasi maka siswa diharapkan berani bereksplorasi sesuai dengan kemampuannya sendiri.
2. Faktor eksternal yang meliputi:
a. Faktor keluarga
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Keluarga juga merupakan salah satu penyebab kesulitan belajar. Yang termasuk dalam faktor keluarga ini adalah:
1) Orang tua
Kewajiban dari orang tua adalah mendidik anaknya. Orabng tua yang kurang/tidak memperhatikan anaknya, mungkin acuh tak acuh, tidak memperhatikan kemajuan belajar anak-anaknya akan menjadi penyebab kesulitan belajarnya. Hubungan antara orang tua dengan anak juga harus harmonis. Karena hal ini juga membantu keberhasilan dalam belajar mereka.
2) Suasana rumah/keluarga
Suasana rumah yang ramai atau gaduh tidak mungkin membuat anak akan dapat belajar dengan baik. Anak akan terganggu konsentrasinya. Sehingga sukar untuk belajar. Oleh karena itu suasana rumah harus dibuat menyenangkan, tentram, damai, dan harmonis.
3) Keadaan ekonomi keluarga
Biaya merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan pendidikan anak. Misalnya untuk membeli peralatan sekolah anak seperti buku, pensil, dan lain sebagainya. Karena kurangnya biaya, maka pendidikan mereka juga akan terhambat.
b. Sekolah
Sekolah merupakan salah satu tempat anak-anak dalam menuntut ilmu. Unsure-unsur yang ada didalamnya pun juga berpengaruh dalam keberhasilan belajar siswa, yang temasuk komponen didalam sekolah diantaranya adalah:
1) Guru Sebagai Pembina Siswa Belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik . Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik pemuda generasi bangsanya. Guru yang mengajar siswa adalah seorang pribadi yang tumbuh menjadi penyandang profesi bidang studi tertentu. Sebagai seorang pribadi ia juga mengembangkan diri menjadi pribadi utuh. Sebagai seorang diri yang mengembangkan keutuhan pribadi, ia juga menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia.
2) Prasarana dan Sarana Pembelajaran
Lengkapnya sarana dan prasarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal ini tidak berarti bahwa lengkapnya sarana dan prasarana menentukan jaminan melakukan proses pembelajaran yang baik. Justru disinilah muncul bagaimana mengolah sarana dan prasaranapembelajaran sehingga tersenggara proses belajar yang berhasil dengan baik.
3) Lingkungan Sosial Siswa Di Sekolah
Tiap siswa dalam lingkungan sosial memiliki kedudukan, peranan dan tanggung jawab sosial tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi pergaulan seperti hubungan sosial tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi hubungan akrab kerjasama, kerja berkoprasi, berkompetisi, bersaing, konflik atau perkelahian.
4) Kurikulum Sekolah
Kurikulum yang diberlakukan di sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah, atau yayasan pendidikan. Kurikulum disusun berdasarkan tuntutan kemajuan masyrakat. Dengan kemajuan dan perkembangan masyrakat timbul tuntutan kebutuhan baru dan akibatnya kurikulum sekolah perlu direkonstruksi. Adanya rekonstruksi itu menimbulkan kurikulum baru. Perubahan kurikulum sekolah menimbulkan masalah seperti tujuan yang akan dicapai mungkin akan berubah, isi pendidikan berubah, kegiatan belajar mengajar berubah serta evaluasi berubah.
c. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial seperti teman bergaul, keadaan masyarakat, pengaruhnya sangat besar dan lebih cepat masuk dalam jiwa anak. Hal ini juga merupakan penyebab anak mengalami kesulitan belajar serta menghambat proses hasil belajar anak.
C. Cara Mengatasi Anak yang Kesulitan Belajar
1. Kesulitan membaca (Disleksia)
Disleksia merupakan gangguan neourologis yang sifatnya genetis. Jadi kondisi ini menetap. Disleksia tidak bisa diobati tetapi bisa diintervensi sehingga anak bisa mengatasi masalahnya. Contohnya, anak tidak bisa membaca lalu dibacakan. Bagi orang yang tidak paham anak tersebut bisa dikatakan pemalas, bodoh, keras kepala dan sebagainya.
Cara yang paling sederhana, paling efektif untuk membantu anak-anak penderita disleksia belajar membaca dengan mengajar mereka membaca dengan metode phonic. Idealnya anak-anak akan mempelajari phonic di sekolah bersama guru, dan juga meluangkan waktu untuk berlatih phonic di rumah bersama orang tua mereka. Metode phonic ini telah terbukti berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan anak dalam membaca (Gittelment & Feingold, 1983). Metode phonic ini merupakan metode yang digunakan untuk mengajarkan anak yang mengalami problem dysleksia agar dapat membaca melalui bunyi yang dihasilkan oleh mulut. Metode ini dapat ssudah dikemas dalam bentuk yang beraneka ragam, baik buku, maupun software.
Berikut ini merupakan ide-ide yang dapat membantu anak dengan phonic dan membaca:
a. Mencoba untuk menyisihkan waktu setiap hari untuk membaca.
b. Tunda sesi jika anak terlalu lelah, lapar, atau mudah marah hingga dapat memusatkan perhatian.
c. Jangan melakukan sesuatu yang berlebih-lebihan pada saat pertama, mulailah dengan sepuluh atau lima belas menit sehari.
d. Tentukan tujuan yang dapat dicapai: satu hari sebanyak satu halaman dari buku phonics atau buku bacaan mungkin cukup pada saat pertama.
e. Bersikap positif dan puji anak ketika anak membaca dengan benar. Ketika anak membuat kesalahan, bersabarlah dan bantu untuk membenarkan kesalahan.
f. Ketika membaca cerita bersama-sama, pastikan bahwa anak tidak hanya melafalkan kata-kata, tetapi merasakannya juga. Tanyakan pendapatnya tentang cerita atau karakter-karakter dalam cerita tersebut.
g. Mulai dengan membaca beberapa halaman pertama atau paragraph dari cerita dengan suara keras untuk memancing anak. Kemudian meminta anak membaca terusan ceritanya untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
h. Variasikan aktivitas dengan meluangkan beberapa sesi untuk melakukan permaianan kata-kata sebagai ganti aktivitas membaca, atau meminta anak untuk mengarang sebuah cerita, tulislah cerita tersebut, dan mintalah ia untuk membaca kembali tulisan tersebut.
i. Berikan hadiah padanya ketika anak melakukan sesuatu dengan sangat baik atau ketika ada perubahan yang nyata pada nilai-nilainya di sekolah.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak disleksia antara lain:
a. Mendemonstrasikan apa yang ingin dikerjakan anak.
b. Menceritakan kepada anak hal yang sedang dilakukannya.
c. Mendorong anak bercakap-cakap.
d. Memperlihatkan kepada anak gambar yang menarik (bukan gambar makhluk bernyawa) sehingga anak mampu mendeksripsikan dan menginterpretasikan.
e. Membaca dan menceritakan cerita pendek kepada anak.
f. Meminta atau memberi dukungan kepada anak untuk bercerita di depan kelas tentang situasi menarik yang dialami di rumah atau di tempat lain.
g. Membuat permainan telepon-teleponan.
2. Kesulitan menulis (Disgrafia)
Untuk mengatasi problem disgrafia ini, sangatlah baik apabila kita belajar dari sebuah kasus anak yang mengalami disgrafia. Problem disgrafia muncul pada Stephen saat sekolah dasar, ia memiliki nilai yang bagus pada masa-masa awal, akan tetapi kemudian nilainya jatuh dan akhirnya guru Stephen di kelas V memanggilnya, dan juga memanggil orang tuanya. Guru tersebut meminta orang tua Stephen untuk mengajari Stephen mengetik pada mesin ketik yang dapat dibawa kemana-mana (portable). Hasilnya nilai dan prestasi Stephen meningkat secara tajam.
Sebagian ahli merasa bahwa pendekatan yang terbaik untuk disgrafia adalah dengan jalan mengambil jalan pintas atas problem tersebut, yaitu dengan menggunakan teknologi untuk memberikan kesempatan pada anak mengerjakan pekerjaan sekolah tanpa harus bersusah payah menulis dengan tangannya.Ada dua bagian dalam pendekatan ini. Anak-anak menulis karena dua alasan : pertama untuk menangkap informasi yang mereka butuhkan untuk belajar (dengan menulis catatan) dan kedua untuk menunjukkan pengetahuan mereka tentang suatu mata pelajaran (tes-tes menulis). Sebagai ganti menulis dengan tangan, anak-anak dapat:
a. Meminta fotokopi dari catatan-catatan guru atau meminta ijin untuk mengkopi catatan anak lain yang memiliki tulisan tangan yang bagus, mereka dapat mengandalkan teman tersebut dan mengandalkan buku teks untuk belajar.
b. Belajar cara mengetik dan menggunakan laptop/note book untuk membuat catatan di rumah dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
c. Menggunakan alat perekam untuk menangkap informasi saat pelajaran. Sebagai ganti menulis jawaban tes dengan tangan, mereka dapat:
1) Melakukan tes secara lisan.
2) Mengerjakan tes dengan pilihan ganda.
3) Mengerjakan tes-tes yang dibawa pulang (take – home test) atau tes dalam kelas dengan cara menegtik.
4) Bila strategi-strategi di atas tidak mungkin dilakukan karena beberapa alasan, maka anak-anak penderita dysgraphia harus diijinkan untuk mendapatkan waktu tambahan untuk tes-tes dan ujian tertulis.
d. Luangkan waktu lebih, dalam tugas menulis
e. Kalau kesulitan dalam jarak, kita bisa membantu mereka dengan menaruh jari di mulut antara satu kata dengan kata yang lain
Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini memberikan perbedaan yang segera tampak pada anak. Dari pada mereka harus bersusah payah mengusai suatu keterampilan yang sangat sulit bagi mereka, dan nantinya mungkin akan jarang dibutuhkan ketika beranjak dewasa, mereka dapat berkonsentrasi untuk mempelajari keterampilan lain, dan dapat menunjukkan apa yang mereka ketahui. Hal ini membuat mereka merasa lebih baik berkenaan dengan sekolah dan diri mereka sendiri. Tidak ada alasan untuk menyangkal kesempatan bagi seorang anak yang cerdas untuk meraih kesuksesan di sekolah. selain itu, karena pendidikan sangatlah penting bagi masa depan anak, maka tidak sepadan resiko membiarkan anak menjadi semakin lama semakin frustasi dan menjadi putus asa karena pekerjaan sekolah.
3. Kesulitan berhitung (Diskalkulia)
Seorang anak bersama Jesica (sepuluh tahun, duduk di kelas V) didapati mengalami masalah dengan mata pelajaran matematika. Nilai matematika yang Jessica dapat selalu rendah, walaupun pada mata pelajaran lain, nilainya baik. Lalu seorang guru memanggilnya, dan memberinya lembar kertas dan pensil dan memintanya menyelesaikan soal berikut: Jones seorang petani memiliki 25 pohon apel dan tiap pohon menghasilkan 50 kilogram apel pertahun, berapa kilogram apel yang dihaislkan Jones tiap tahun? Ia berusaha keras menemukan jawabannya tetapi tetap tidak bisa. Ketika guru bertanya bagaimana cara menyelesaikan, ia menjawab, ia harus mengalikan 25 dengan 50, akan tetapi ia tidak dapat menghitungnya. Kemudian guru memberinya kalkulator, dan kemudian ia dapat menghitungnya. Inilah gambaran seorang anak yang mengalami problem “dyscalculia”.
Seperti halnya problem kesulitan menulis dan membaca, ada dua pendekatan yang mungkin dapat mengatasi diskalkulia, yaitu dengan menawarkan beberapa bentuk penganganan matematika yang intensif, atau dengan mengambil jalan pintas.
Pendekatan yang pertama, yaitu penanganan matematika yang intensif, dapat dilakukan dengan teknik “individualisasi yang dibantu tim”. Pendekatan ini menggunakan pengajaran secara privat dengan teman sebaya (peer tutoring). Pendekatan ini mendasari tekniknya pada pemahaman bahwa kecepatan belajar seorang anak berbeda-beda, sehingga ada anak yang cepat menangkap, dan ada juga yang lama. Teknik ini mendorong anak yang cepat menangkap materi pelajaran agar mengajarkannya pada temannya yang lain yang mengalami problem diskalkulia tersebut.
Pendekatan yang kedua, yaitu jalan pintas, sebagaimana Jessica diberikan kalkulator untuk menghitung, maka anak dengan problem diskalkulia ini juga dapat diberikan kalkulator untuk menghitung. Cara lain yang dapat menolong mereka dengan cara sebagai berikut:
a. Gunakan diagram dan gambarkan konsep-konsep matematika
b. Gunakan kertas grafik
c. Latihan berulang-ulang.